Jumat, 11 April 2008

Syahadat

Syahadat merupakan asas dan dasar bagi rukun Islam lainnya. Syahadat merupakan ruh, inti dan landasan seluruh ajaran Islam. [1]Syahadat sering disebut dengan Syahadatain karena terdiri dari 2 kalimat (Dalam bahasa arab Syahadatain berarti 2 kalimat Syahadat). Kedua kalimat syahadat itu adalah:
• Kalimat pertama :
Asyhadu An-Laa Ilâha Illallâh
artinya : Saya bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah
• Kalimat kedua :
wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullâh
artinya: dan saya bersaksi bahwa Muhammad saw adalah Rasul / utusan Allah.

• Kalimat pertama menunjukkan pengakuan tauhid. Artinya, seorang muslim hanya mempercayai Allâh sebagai satu-satunya Allah. Allah adalah Tuhan dalam arti sesuatu yang menjadi motivasi atau menjadi tujuan seseorang. Jadi dengan mengikrarkan kalimat pertama, seorang muslim memantapkan diri untuk menjadikan hanya Allâh sebagai tujuan, motivasi, dan jalan hidup.
• Kalimat kedua menunjukkan pengakuan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allâh. Dengan mengikrarkan kalimat ini seorang muslim memantapkan diri untuk meyakini ajaran Allâh seperti yang disampaikan melalui Muhammad saw, seperti misalnya meyakini hadist-hadis Muhammad saw. Termasuk di dalamnya adalah tidak mempercayai klaim kerasulan setelah Muhammad saw.
[sunting] Makna LAA ILAAHA ILLALLAH[3]
Kalau kita tinjau sebenarnya kalimat LAA ILAAHA ILLALLAH mengandung dua makna, yaitu makna penolakan segala bentuk sesembahan selain Allah, dan makna menetapkan bahwa satu-satunya sesembahan yang benar hanyalah Allah semata.
Berkaitan dengan mengilmui kalimat ini Allah ta'ala berfirman: "Maka ketahuilah(ilmuilah) bahwasannya tidak ada sesembahan yang benar selain Allah" (QS Muhammad : 19)
Berdasarkan ayat ini, maka mengilmui makna syahadat tauhid adalah wajib dan mesti didahulukan daripada rukun-rukun islam yang lain. Disamping itu nabi kita pun menyatakan: "Barang siapa yang mengucapkan LAA ILAAHA ILLALLAH dengan ikhlas maka akan masuk ke dalam surga" ( HR Ahmad)
Yang dimaksud dengan ikhlas di sini adalah mereka yang memahami, mengamalkan dan mendakwahkan kalimat tersebut sebelum yang lainnya, karena di dalamnya terkandung tauhid yang Allah menciptakan alam karenanya. Rasul mengajak paman beliau Abu Thalib, Ketika maut datang kepada Abu Thalib dengan ajakan "wahai pamanku ucapkanlah LAA ILAAHA ILLALLAH sebuah kalimat yang aku akan jadikan ia sebagai hujah di hadapan Allah" namun Abu Thalib enggan untuk mengucapkan dan meninggal dalam keadaan musyrik.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tinggal selama 13 tahun di makkah mengajak orang-orang dengan perkataan beliau "Katakan LAA ILAAHA ILLALLAH" maka orang kafir pun menjawab "Beribadah kepada sesembahan yang satu, kami tidak pernah mendengar hal yang demikian dari orang tua kami". Orang qurays di Zaman nabi sangat paham makna kalimat tersebut, dan barangsiapa yang mengucapkannya tidak akan menyeru/berdoa kepada selain Allah.
[sunting] Kandungan Kalimat Syahadat[4]
• Ikrar
Ikrar yaitu suatu pernyataan seorang muslim mengenai apa yang diyakininya.Ketika kita mengucapkan kalimat syahadah, maka kita memiliki kewajiban untuk menegakkan dan memperjuangkan apa yang kita ikrarkan itu.
• Sumpah
Syahadat juga bermakna sumpah. Seseorang yang bersumpah, berarti dia bersedia menerima akibat dan resiko apapun dalam mengamalkan sumpahnya tersebut. Artinya, Seorang muslim itu berarti siap dan bertanggung jawab dalam tegaknya Islam dan penegakan ajaran Islam.
• Janji
Syahadat juga bermakna janji. Artinya, setiap muslim adalah orang-orang yang berjanji setia untuk mendengar dan taat dalam segala keadaan terhadap semua perintah Allah SWT, yang terkandung dalam Al Qur'an maupun Sunnah Rasul.
[sunting] Syarat Syahadat


Kaligrafi tulisan syahadat
Syarat syahadat adalah sesuatu yang tanpa keberadaannya maka yang disyaratkannya itu tidak sempurna. Jadi jika seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat tanpa memenuhi syarat-syaratnya, bisa dikatakan syahadatnya itu tidak sah.
Syarat syahadat ada tujuh [5] , yaitu:
• Pengetahuan
Seseorang yang bersyahadat harus memiliki pengetahuan tentang syahadatnya. Dia wajib memahami isi dari dua kalimat yang dia nyatakan itu, serta bersedia menerima konsekuensi ucapannya.
• Keyakinan
Seseorang yang bersyahadat mesti mengetahui dengan sempurna makna dari syahadat tanpa sedikitpun keraguan terhadap makna tersebut.
• Keikhlasan
Ikhlas berarti bersihnya hati dari segala sesuatu yang bertentangan dengan makna syahadat. Ucapan syahadat yang bercampur dengan riya atau kecenderungan tertentu tidak akan diterima oleh Allah SWT.
• Kejujuran
Kejujuran adalah kesesuaian antara ucapan dan perbuatan. Pernyataan syahadat harus dinyatakan dengan lisan, diyakini dalam hati, lalu diaktualisasikan dalam amal perbuatan.
• Kecintaan
Kecintaan berarti mencintai Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman. Cinta juga harus disertai dengan amarah yaitu kemarahan terhadap segala sesuatu yang bertentangan dengan syahadat, atau dengan kata lain, semua ilmu dan amal yang menyalahi sunnah Rasulullah SAW.
• Penerimaan
Penerimaan berarti penerimaan hati terhadap segala sesuatu yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Dan hal ini harus membuahkan ketaatan dan ibadah kepada Allah SWT, dengan jalan meyakini bahwa tak ada yang dapat menunjuki dan menyelamatkannya kecuali ajaran yang datang dari syariat Islam. Artinya, bagi seorang muslim tidak ada pilihan lain kecuali Al Qur'an dan Sunnah Rasul.
• Ketundukan
Ketundukan yaitu tunduk dan menyerahkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya secara lahiriyah. Artinya, seorang muslim yang bersyahadat harus mengamalkan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya. Perbedaan antara penerimaan dengan ketundukan yaitu bahwa penerimaan dilakukan dengan hati, sedangkan ketundukan dilakukan dengan fisik.Oleh karena itu, setiap muslim yang bersyahadat selalu siap melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupannya.
[sunting] Asas Dari Tauhid Dan Islam[6]
LAA ILAAHA ILLALLAH adalah asas dari Tauhid dan Islam dengannya terealisasikan segala bentuk ibadah kepada Allah dengan ketundukan kepada Allah, berdoa kepadanya semata dan berhukum dengan syariat Allah.
Seorang ulama besar Ibnu Rajab mengatakan: Al ilaah adalah yang ditaati dan tidak dimaksiati, diagungkan dan dibesarkan dicinta, dicintai, ditakuti, dan dimintai pertolongan harapan. Itu semua tak boleh dipalingkan sedikit pun kepada selain Allah. Kalimat LAA ILAAHA ILLALLAH bermanfaat bagi orang yang mengucapkannya selama tidak membatalkannya dengan aktifitas kesyirikan.
[sunting] Inti Syahadat[7]
Inilah sekilas tentang makna LAA ILAAHA ILLALLAH yang pada intinya adalah pengakuan bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah ta'ala semata.
[sunting] Penafsiran Yang Salah (Bathil)[8]
Perlu untuk diketahui, bahwa telah banyak penafsiran yang bathil yang beredar ditengah masyarakat muslim Indonesia secara khususnya mengenai makna LAA ILAAHA ILLALLAH, dan semoga kita terhindar dari kebathilan ini, yakni:
Laa ilaaha illallah artinya: "Tidak ada sesembahan kecuali Allah." Ini adalah batil, karena maknanya: Sesungguhnya setiap yang disembah, baik yang hak maupun yang batil, itu adalah Allah.
Laa ilaaha illallah artinya: "Tidak ada pencipta selain Allah." Ini adalah sebagian dari arti kalimat tersebut. Akan tetapi bukan ini yang dimaksud, karena arti hanya mengakui tauhid rububiyah saja, dan itu belum cukup.
Laa ilaaha illallah artinya: "Tidak ada hakim (penentu hukum) selain Allah." Ini juga sebagian dari makna kalimat laa ilaaha illallah. Tapi bukan ini yang dimaksud, karena makna tersebut belum cukup.
Semua tafsiran di atas adalah batil atau kurang. Kami menghimbau dan memperingati di sini karena tafsir-tafsir itu ada dalam kitab-kitab yang banyak beredar. Sedangkan tafsir yang benar menurut syariat Islam yang shohih dan para muhaqqiq (ulama peneliti) adalah "Laa ilaaha illallah ma'buuda bihaqqin illallah" (tidak ada sesembahan yang hak selain Allah) seperti tersebut di atas.

Kamis, 10 April 2008

SYARAT UTAMA BAGI ORANG YANG MASUK ISLAM

Syarat utama bagi orang yang baru masuk Islam ialah
mengucapkan dua kalimat Syahadat. Yaitu, "Asyhadu allaa
ilaaha ilallaah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasuulullah."
Barangsiapa yang mengucapkan dan mengikrarkan dengan
lisannya, maka dia menjadi orang Islam. Dan berlaku baginya
hukum-hukum Islam, walaupun dalam hatinya dia mengingkari.
Karena kita diperintahkan untuk memberlakukan secara
lahirnya. Adapun batinnya, kita serahkan kepada Allah. Dalil
dari hal itu adalah ketika Nabi saw. menerima orang-orang
yang hendak masuk Islam, beliau hanya mewajibkan mereka
mengucapkan dua kalimat Syahadat. Nabi saw. tidak menunggu
hingga datangnya waktu salat atau bulan Puasa (Ramadhan).

Di saat Usamah, sahabat Rasulullah saw, membunuh orang yang
sedang mengucapkan, "Laa ilaaha illallaah," Nabi
menyalahkannya dengan sabdanya, "Engkau bunuh dia, setelah
dia mengucapkan Laa ilaaha illallaah." Usamah lalu berkata,
"Dia mengucapkan Laa ilaaha illallaah karena takut mati."
Kemudian Rasulullah saw. bersabda, "Apakah kamu mengetahui
isi hatinya?"

Dalam Musnad Al-Imam Ahmad diterangkan, ketika kaum Tsaqif
masuk Islam, mereka mengajukan satu syarat kepada Rasulullah
saw, yaitu supaya dibebaskan dari kewajiban bersedekah dan
jihad. Lalu Nabi saw. bersabda, "Mereka akan melakukan
(mengerjakan) sedekah dan jihad."


---------------------------------------------------
FATAWA QARDHAWI, Permasalahan, Pemecahan dan Hikmah
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Penerbit Risalah Gusti
Cetakan Kedua, 1996
Jln. Ikan Mungging XIII/1
Telp./Fax. (031) 339440
Surabaya 60177

Kebahagiaan itu….! ! !

“Mbak…. Bangun…! Sudah jam lima lho… mau sekolah apa tidak?”, suara ibu dari luar kamar membangunkanku.

“Astaghfirullah…. Telat lagi!”, sesalku dalam bisikan kecil sambil bangun menata kasur tidur dan selimut. Entah sudah berapa kali aku telat bangun pagi, telat shalat subuh dan qiyamul lail—bangun malam untuk shalat tahajud— pun terlewatkan. Mungkin karena tidurku yang terlalu malam, jadi nggak bisa bangun lebih awal. Ya, hari Ahad selalu menjadi hari penuh dengan pekerjaan fisik; menyapu lantai, menyapu halaman rumah dan halaman masjid—depan rumahku terdapat masjid—, cuci baju sekaligus setrika bajuku, bapak, ibu dan baju adik-adik, setelah itu baru bisa pegang buku. Meski lelah, tadi malam tetap kupaksa untuk membuka lembar-lembar Qur’an Hadits dan Matematika, mau ulangan jadi harus benar-benar persiapan. Ah, alhamdulillah, aku bersyukur masih bisa bangun, kalau tidak gimana, coba?!--kuhibur hati agar tak putus asa dari rahmat-Nya. Aku ingat dalam pedomanku, al-Qur’an suci, bahwa jika aku bersyukur pasti Allah akan menambah dan mengekalkan nikmat itu di sisiku. Yang kuharapkan dengan syukurku datang kemudahan dalam urusanku, termasuk bisa qiyamul lail dan shalat subuh tepat waktu.

Kuambil air wudhu untuk menyegarkan pikiran dan badanku. Ah, jam lima masih saja petang dan dingin. Kunikmati shalat subuh agak siangku dalam khusyu’. Aku tak mau prestasi kesungguhan taqwaku di hadapan-Nya berkurang hanya karena agak telat melakukan ibadah mulia itu, kuharapkan rahmat-Nya tetap membersamaiku. Dan kuakhiri dengan do’a cukup panjang, memohon ampunan dan pertolongan. Hingga…. hatiku kini tentram. Syukur membekas di hati dalam diam.

“Ibu… saliiim…,” ucapku sambil menuju ke arah dapur, tempat ibuku selalu asyik menikmati pagi dengan kesibukan ibu rumah tangganya yang tak kenal sepi, always busy. Empat puluh lima menit selalu terlewat untuk persiapan ke madrasah; mandi, sarapan, pakai jilbab, selalu jadi rutinitas yang menyenangkan. Kucium tangan ibuku dengan lembut, kurasakan kasihnya.

“Lala berangkat dulu… doakan Lala sukses dalam ulangan nanti ya… assalamu’alaikum…,” pamitku bergegas meninggalkannya menuju tempat si biru berada. Sayup-sayup kudengar balasan salam dan diiringi suara seperti menasehati, hati-hati. Ya, seperti setiap pagi, bedanya pagi ini ada bonus, aku dapat do’a dari ibu. Dan… kulewati tubuh yang nampak lelap dan kelelahan di tikar depan TV, bapak, selalu tidur menjelang pagi.

Alhamdulillah, kemarin sudah kuisi dua liter bensin untuk si biru, jadi nggak perlu isi lagi. Tapi masih harus membersihkan motor kesayanganku itu, selalu. Karena kalau pulang tak sempat bersihkan, sudah ditunggu pekerjaan lain. Ya, sebagai seorang muslimah wajib menjaga kebersihan, kerapian dan keindahan ‘kan? Karena Allah menyukainya, Rasulullah pun menganjurkannya. Buatku, Allah dan Rasul paling utama, jadi harus sesuai dengan aturan dan petunjuk-Nya.

“Bismillahi tawakkaltu ‘alallah,” kuucap lirih mengiringi tancapan gas pada si biru. Melewati jalan dengan “aspal terluka” membuat aku dan si biru beberap kali harus terlonjak-lonjak. Sampai di jalan “aspal sehat” lonjakan itu tak lagi ada.

“Subhanallah ….,” kalimat yang selalu meluncur mengiring sepanjang perjalanan ke madrasahku. Di pinggir jalan terhampar petak-petak sawah bertanamkan padi yang mulai menguning, sang mentari malu-malu menampakkan sinarnya, langit indah memenuhi angkasa, pohon-pohon rindang meneduhi pemakai jalan, angin pagi segar menyejukkan. Subhanallah… Agungnya pencipta langit dan bumi, yang mencipta keduanya dengan sangat indah, seimbang, dan sempurna. Adakah manusia menjadikan ini pelajaran? Ah, semoga aku termasuk yang menjadikan keduanya pelajaran.

40 menit berjalan, pintu gerbang madrasahku telah melebar, tanda memang sudah agak siang. Keadaan jalan depan sekolah di pagi yang selalu ramai tak membuatku kesulitan memasuki area kampus madrasahku, selalu saja bapak satpam membantuku menyeberang jalan. Kuparkir si biru di tempat yang ditunjukkan seorang bapak yang memang bertugas menata parkir di belakang gedung tingkat dua itu.

Dengan langkah cepat kuhampiri gedung serbaguna di samping tempat parkir. Ya, masih ada tiga puluh menit sebelum bel berbunyi. Aku ingin bertemu Rabbku, memohon semangat dan pertolongan dalam sujud dhuhaku. Agar Dia memberkahi ilmu yang sampai kepadaku. Agar Dia ridha dengan niatku menuntut ilmu, hingga suatu saat ilmu itu akan berguna untuk akhirat dan duniaku.

Alhamdulillah, 15 menit cukup untuk tunaikan dhuhaku, tanpa wudhu lagi tentunya, bekas wudhu habis mandi tadi kukira masih setia membuatku suci sampai detik ini. Setengah berlari aku menuju deretan gedung kelas XI, di ruang enam tempat aku akan mengerjakan semua soal-soal ulangan semester dua kali ini.

“Assalamu’alaikum….,” kusapa seluruh teman yang ada di kelas itu. Sebagian masih mencari-cari nomor urut ujian. Kumasuki ruang itu dengan senyum. Balasan salam pun bersahutan. Senyumku semakin mengembang. Kusalami satu persatu teman-teman putri sambil cipika-cipika ‘cium pipi kanan-cium pipi kiri’ dan menanyakan keadaan mereka dipagi ini. Untuk teman putra aku tak bersalaman, apalagi cipika-cipiki. Tak ada syari’at seperti itu dalam agamaku, yang ada malah larangan berkhalwat—berdua-duaan dengan lawan jenis—, ikhtilat—bercampur baur antara lawan jenis—dan mengundang syahwat.

“Eh, Mbak Lala sudah belajar Matematika?”, tanya Ida, salah satu temanku yang rajin sekali dalam belajar. Sering ia menanyakan perihalku, entah itu PR, tugas hafalan, sudah belajar belum, dan setiap kali dia bertanya begitu, aku lebih sering tersenyum dan menggelengkan kepala. Tapi kali ini lain, aku memang sudah persiapan dari hari ahad kemarin.

”Em, alhamdulillah, kurang beberapa sub-bab yang belum kukuasai,” jawabku mantap sambil tersenym padanya.

“Oh, ya sudah… met belajar…”

Aku tersenyum menanggapi ucapannya. Ida kembali melanjutkan aktifitas bacanya. Akupun mulai buka Qur’an Hadits yang tadi malam belum selesai kubaca.

Astaghfirullah, pertanyaan tadi mengingatkanku pada sesuatu. Kenapa aku hanya belajar ketika akan ulangan? Dan lagi, aku sering ngerjakan beberapa tugas dari guruku di sekolah, tak lagi PR tapi menjadi PS. Tapi aku tak bisa salahkan diriku juga karena aktifitasku membantu orang tua. Ah, alhamdulillah, paling tidak aku tak memanfaatkan waktu untuk hal yang sia-sia, semuanya terisi dengan kegiatan positif—pikirku positif agar tak menyesali kesalahanku yang belum bisa atur waktu dengan baik. Ya, berbeda dengan teman-teman yang duduk di bangku sekelilingku. Mereka selalu rajin, lebih sering mengerjakan tugas daripada tidak, belajar pun kurasa mereka juga memprioritaskannya. Ya, mereka bisa, tapi kenapa aku tidak? Ya Rabbi, kuinggat UAN tinggal beberapa bulan lagi. Aku harus mulai atur waktu lebih cermat lagi! Tetap kerjakan pekerjaan rumah tapi juga harus bisa optimalkan belajar! Tekadku akhirnya.

* * *

Alhamdulillah, ulangan jam pertama kulalui dengan baik. Entah bagaimana hasilnya, yang penting aku berusaha. Kuserahkan sepenuhnya hasilnya pada Allah.

Ya Rabbi, kuharap rumus-rumus dan konsep itu masih ada di kepalaku…. pintaku sebelum ulangan jam kedua ini dimulai. Seperti biasa, Matematika selalu jadi ulangan yang memusingkan kepala. Kumulai menggoreskan bolpoin di kertas buram dengan ucapan basmalah. Nomor satu…. Alhamdulillah, jawabannya ketemu. Nomor dua, nomor tiga, berhasil. Nomor empat, kulewati, aku kurang kuasai konsepnya. Nomor lima, kenapa tak ada jawabannya? Apa aku salah hitung? Nomor enam, nomor tujuh, …..ya Allah, kenapa aku tak menemukan jawaban? Uh, putus asaku muncul. Kuhirup nafas dalam-dalam, kukeluarkan pelan-pelan. Kucoba atur emosi lagi. “Sabar Lala… sabar…., pasti ada jawabannya….,” hiburku. Kucoba kumpulkan semangat. Aha, kalau dari depan banyak yang nggak ketemu jawabannya, kucoba dari belakang saja, mungkin akan lebih mudah. Hem, nomor tiga puluh, ketemu! Semangatku mulai tumbuh.

Sementara itu, disekelilingku jawaban teman-teman melayang-layang diudara. Berisik! Tapi aku tetap asyik mengerjakan soal-soal dihadapanku. Berusaha tak memperdulikan aktifitas teman-temanku yang selalu saja tak bisa menahan diri untuk contek-mencontek. Aku memang tak suka dengan aktifitas itu. Alhamdulillah, dalam keadaan bagaimana pun aku bisa tetap teguh memegang prinsipku; tidak mencontek dan tidak mau menconteki. Peringatan dari Allah dalam kitab-Nya tentang kecurangan dan ketidakjujuran kiranya cukup untuk membuatku meninggalkan kebiasaan buruk yang di derita sebagian besar pelajar di negeri ini. Ah, aku ingat, ayat itu terdapat dalam surah al-A’raf [7] ayat 85.

“… Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang yang beriman.”

Semoga semakin banyak yang sembuh dari penyakit ini, sepertiku.

* * *

Lima hari kemudian…

Siswa-siswi sudah mulai berhamburan dari ruang kelas masing-masing, bel tanda pulang telah berbunyi. Ku pandangi kertas yang menempel di depan kaca kelasku itu. Kutelusuri satu persatu nilai yang tertera. Dua, tiga, empat, satu, tiga… tujuh? Ya Allah, benarkah hanya satu yang lulus? Bergegas kucari nonor urut ulanganku. Namaku…. Tujuh! Ya Rabbi, rupanyya isu tentang diriku itu benar adanya. Aku satu-satunya siswa yang lulus dari semua siswa diruang enam untuk ulangan semester bidang studi Matematika!

Alhamdulillah, tapi teman-teman lain tak ada yang lulus? Apa aku salah jika tak beri contekan pada mereka? Astaghfirullah, aku yakin yang kulakukan benar. Aku tak boleh meragukannya. Bukankah ragu-ragu itu teman syetan? Aku tak mau jadi temannya, hanya akan buatku rugi dunia akhirat! Ah, sudahlah, aku tak boleh menyalahkan diriku sendiri. Yang harus dan ingin kulakukan adalah bersyukur, menanggapi semua ini dengan positif. Pasti ada hikmah dibalik semua ini.

Ya, alhamdulillah. Kuingat satu ayat dalam firman-Nya… “Inna ma’al ‘usri yusro…”, sesungguhnya dalam kesulitan itu ada kemudahan. Dalam kesulitanku mempertahankan prinsipku untuk tak mencontek dan diconteki, ada kemudahan lain yang diberikan-Nya. Ah, aku ingat lagi, “…ud’unii astajiblakum”, berdoalah kepada-Ku niscaya akan kuperkenankan bagimu. “…faidza ‘azzamta fatawakkal ‘alallah…”… ayat-ayat itu terus terngiang dalam pikiranku. Subhanallah, indahnya rasa dalam jiwa ini. Dalam keadaan suka aku masih bisa bersyukur itu prestasi tersendiri buatku, karna yang aku tahu kebanyakan orang dalam keadaan suka itu lupa bersyukur. Alhamdulillah aku tak termasuk mereka. Pun ketika aku gagal, Allah selalu memberiku jalan untuk tetap lapang menerimanya, tak meragukan pertolongan-Nya, dan ada semangat untuk memperjuangkan yang lebih baik demi ridha-Nya. Adakah nikmat yang lebih indah dari ini? Kapankah teman-temanku bisa merasakannya?

“Assalamu’alaikum, Mbak….,” sapa Nisa, kelas tiga juga, tapi dia memang selalu memanggilku ‘mbak’, karena aku memang kakaknya.

“Eh, wa’alaikum salam, de’ …. Ada apa?,” tanyaku sambil mengukir senyum, diiringi cipika-cipiki, kebiasaanku mencoba membiasakan pada semuanya.

“Cie cie… dapat nilai bagus ya…,” puji adikku sambil ikut memangdang kertas yang menempel di kaca itu.

“Eh, udah de’, nggak usah dibahas…, ada apa?” pintaku padanya. Bukannya aku nggak suka dengan nilai itu, tapi aku juga ingin jaga perasaan teman-teman yang satu ruanggan denganku. Semoga Allah mengampuniku.

Aku seperti ingat sesuatu. Ya, aku lupa membawakan uang untuk pendaftaran adikku ke IPB—Institut Pertanian Bogor—, dia ngambil jalur PMDK USMI. Padahal, aku sudah bilang ke ibu dan hari ini sebenarnya uangnya sudah ada. Kenapa aku lupa lagi?

“Iya iya… jangan marah dong… Eh, uangnya dibawakan nggak Mbak?”, tanyanya tetap berdiri di sampingku, eh, sekarang di hadapanku. Aku terdiam.

Dua detik kemuadian, alhamdulillah, senyumku mengembang. Tak ingin kularut dalam kekecewaan atas kelupaanku. Aku bersyukur atas itu dengan harapan agar Allah berikan kemudahan bagiku untuk menjadi pengingat, bukan lagi pelupa. Kuucap maaf untuk adikku. Aku hanya ingin berpikr positif atas beberapa kesalahanku, pun aku hanya insan biasa, banyak salah dan lupa. Itu caraku untuk mengingat akan kebesaran Sang Maha Sempurna. Ya, berpikir positif selalu buatku bahagia.

mari bersama mengembalikan kehidupan Islam.