Jumat, 25 Desember 2009

-“KETABAHAN HATI MEMPERTAHANKAN IMAN DAN KENENARAN”

Dahulu ada seorang raja yg mempunyai seorang ahli sihir, dan ketika ia merasa sudah tua, berkata kepada raja : Kini aku telah tua, karena itu kirimkan padaku seorang pemuda untuk aku ajarkan padanya ilmu sihir, supaya dapat menggantikan kedudukanku kelak disisi raja. Maka raja memilih seorang pemuda untuk belajar ilmu sihir, pada ahli sihir itu.

Dan bertepatan dijalan yang dilalui pemuda itu, ada seorang Rahib (pendeta) yang mengajar agama dirumahnya, maka duduklah pemuda itu dimajlis itu untuk mendengar ajaran-ajaran agama, maka tertariklah ia dan merasa puas, sehingga terlambat kedatangannya kepada Sahir, maka dipukul oleh Sahir, lalu ia mengeluh kepada Rahib, maka diajarkan oleh Rahib : Jika kamu takut pada Sahir, katakana padanya : Aku masih bertahan (disuruh) oleh ibu. Dan bila kembali terlambat katakan pada ibumu : Saya masih ditahan oleh Sahir. Maka berjalanlah keadaan dengan baik, dan pada suatu hari ketika ia pergi tiba-tiba ada binatang buas besar ditengah jalan, sehingga menyebabkan terhentinya semua orang yang akan melalui jalan itu, maka disitulah pemuda berkata : Hari ini aku akan mengetahui ajaran Sahirkah yang lebih baik atau ajaran Rahib? Maka ia mengabil batu sambil berkata : Ya Allah jika ajaran Rahib lebih Engkau suka dari ajaran Sahir, maka bunuhlah binatang ini supaya orang-orang dapat berjalan. Kemudian dilempar binatang itu, dan seketika itu juga mati, hingga orang-orang dapat berjalan dengan aman. Kemudian ia segera menyampaikan kejadian itu pada Rahib. Tiba-tiba Rahib berkata padanya : Anakku engkau kini lebih utama (sakti) daripadaku, dan kamu akan mendapat ujian (bala’), maka apabila akan mendapat bala’ jangan sekali-kali menunjuk aku. Kemudian pemuda itu mendapat karunia besar dari Allah hingga dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit terutama yang biasa dikatakan oleh manusia : Tidak dapat disembuhkan seperti buta, belang dan lain-lain penyakit yang berat-berat. Maka keadaan pemuda itu terdengar oleh seorang kawan raja, yang telah menderita sakit mata hingga buta, dan telah berikhtiar kemana-mana tetapi tidak sembuh, kemudian datanglah ia kepada pemuda itu dengan membawa hadiah yang banyak yang besar, lalu berkata : Jika kamu dapat menyembuhkan penyakitku ini, maka aku dapat memberi padamu apa permintaanmu. Jawab pemuda : Sebenarnya saya tidak dapat menyembuhkan, hanya Allah yang menyembuhkan, maka bila kamu percaya pada Allah, aku akan berdo’a dan Allah yang menyembuhkan. Maka segeralah ia percaya kepada Allah, kemudian pemuda itu berdo’a, maka seketika itu juga sembuh dan dapat melihat kembali. Kemudian ia hadir dimajlis raja sebagaimana biasa, maka kagumlah raja melihat ia telah sembuh dan dapat melihat, sehingga ditanya oleh raja : Siapakah yang menyembukan matamu? Jawabnya : Tuhanku. Raja bertanya : Apakah kamu percaya pada tuhan selain aku? Jawabnya : Tuhanku dan Tuhanmu yalah : Allah. Maka segeralah ia disiksa oleh raja dan dipaksa supaya kembali bertuhan kepada raja, tetapi ia tidak berubah iman agamanya, dan raja terus menyiksanya sehingga ia terpaksa menunjukkan pemuda itu, maka didatangkan pemuda itu dan ditanya oleh raja : Hai sihirmu telah mencapai puncaknya sehingga kamu dapat menyembuhkan orang buta dan penyakit belang, dan berbuat lain-lainnya. Jawab Pemuda : Sebenarnya saya tidak dapat menyembuhkan orang, hanya Allah yang dapat menyembuhkan semua itu. Raja mendengar jawaban itu marah dan segera menangkap pemuda dan menyiksanya, hingga terpaksa ia menunjuk Rahib. Kemudian dipanggilkan Rahib itu dan diperintahkan harus meninggalkan agamanya.Tetapi Rahib tetap teguh dan menolak perintah raja, maka segera disediakan gergaji, dan digergaji dari atas kepala hingga terbelah dua badan Rahib itu. Kemudian dipanggillah kawan raja itu dan diperintah supaya meninggalkan agamanya, dan ketika menolak, segera digergaji sehingga terbelah badannya menjadi dua. Kemudian dihadapkan pemuda itu dan diperintahkan supaya melepas agama Tuhan, pemuda inipun menolak perintah raja. Kemudian raja menyerahkan pemuda ini kepada beberapa orang tentaranya, dan berkata kepada mereka : Bawakan pemuda ini keatas bukit, bila telah berada diatas bukit, maka tawarkan padanya, jika ia suka meninggalkan agamanya, lepaskan, bila tidak, dan tetap menolak agama kami, maka lemparkan ia kebawah supaya mati. Maka ketika telah berada diatas bukit, pemuda itu berdo’a : Allahummak finihim bima syi’ta (Ya Allah hindarkan aku dari mereka ini sekehendakMu), maka bergeraklah bukit itu hingga jatuh semua tentara yang mrmbawanya itu dan mati. Dan kembalilah pemuda itu kepada raja. Maka ditanya oleh Raja : Kemana tentara yang membawa kamu? Jawabnya : Allah telah menghindarkan aku dari rencana mereka. Kemudian raja menyerahkan pemuda kepada beberapa tentara yang lain untuk dibawa naik perahu dan dibawa ketengah laut, maka bila telah berada ditengah laut,ditawarkan padanya supaya kembali keagama raja, bila tidak mau maka buanglah ia kedalam laut. Maka ketika sampai ketengah laut pemuda itu berdo’a : Allahummak finihim bima syi’ta ( Ya Allah hindarkan aku dari kejahatan orang-orang ini sekehendak Mu) maka terbaliklah perahu itu sehingga tenggelam semua tentara itu, dan pemuda itu segera kembali kepada raja. Oleh raja ditanya : Kemana tentara yang membawamu ? Jawabnya : Allah telah menghindarkan aku dari mereka, lalu pemuda itu berkata kepada raja Engkau takkan dapat membunuhku, hingga menurut kepada ajaranku. Raja bertanya : Apakah itu? Jawab pemuda : Engkau kumpulkan semua rakyat disuatu lapangan, lalu kamu gantungkan badanku dibatang pohon kemudian kamu ambil anak panahku, dan kamu pasang dibusurnya kemudian kamu baca : Bismillahir rabbil ghulam (Dengan nama Allah Tuhan pemuda ini) lalu lepaskan anak panah itu kearahku, maka bila kamu lakukan itu dapatlah kamu membunuhku. Maka segeralah raja mengumpulkan semua rakyat disuatu lapangan, kemudian menggantung pemuda itu pohon, lalu mengambil anak panah dan diletakkan dibusurnya lalu membaca : Bismillahi rabbil ghulam (Dengan nama Allah tuhan pemuda ini) lalu melepaskan anak panah kearah pemuda itu, yang langsung mengenai pelipisnya, maka pemuda itu meletakkan tangan dipelipisnya hingga mati. Maka serentaklah rakyat semua berkata : Aamanna birabbil gluham (Kami percaya pada Tuhannya pemuda itu). Sehingga kepercayaan kepada Allah itu merata disemua lapisan rakyat. Kemudian diberitakan pada raja bahwa orang-orang (rakyat) semua telah percaya pada Tuhan Allah, maka apa yang kamu kuatirkan kini telah terjadi. Maka raja segera memerintah supaya membuat parit besar ditiap persimpangan jalan, kemudian dinyalakan api diparit, dan tiap orang yang lalu ditempat itu dipaksa supaya meninggalkan agamanya, bila menolak langsung dilemparkan kedalam parit api itu. Maka dilaksanakanlah perintah raja dan banyak orang-orang yang tersiksa (terbakar) dalam parit, sehingga dating seorang ibu yang membawa bayinya, ketika ia diperintah merobah agamanya menolak, dan ketika ditarik anaknya untuk dibuangkedalam parit api ia akan menyerah karena saying pada anaknya, tiba-tiba bayi ini berbicara : Hai ibu sabarlah, karena kamu dalam kebenaran hak.

Semoga kita menjadi hamba Allah yg selalu tabah,kuat mempertahankan keimanan & berani dalam menegakan kebenaran.Allah Humma Amin.

KISAH ASAL USUL BEKAS TAPAK KAKI NABI IBRAHIM A.S (MAQAM)

Setelah Nabi Ismail setuju untuk membantu Nabi Ibrahim membangun Kaabah, maka Nabi Ibrahim bersama dengan anaknya pun mula membina Kaabah setelah Allah S.W.T menunjukkan kepada mereka tempat yang harus dibina Baitullah itu.
Ada dua riwayat yang mengatakan bahawa Allah S.W.T meninggikan tapak Baitullah sebelum dibina oleh Nabi Ibrahim dan anaknya, tapak Baitullah tidak terkena bala bencana topan sewaktu topan besar melanda.
Satu riwayat lagi mengatakan bahawa tapak Baitullah itu telah runtuh dalam taufan besar sepertimana runtuhnya binaan-binaan besar yang lain. Setelah peristiwa topan besar melanda maka sesungguhnya tidak ada orang lain yang mulakukan pembinaan semula kecuali Nabi Ibrahim dan anaknya.

Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail memulakan pembinaan Baitullah. Nabi Ibrahim menyusun naik batu sementara Nabi Ismail pula mengutip batu-batu besar seperti yang difirman oleh Allah S.W.T yang bermaksud, "Dan (ingatlah) ketika Nabi Ibrahim bersama-sama anaknya Nabi Ismail meninggikan binaan (tapak) Baitullah (Kaabah) sambil keduanya berdoa dengan berkata, Wahai Tuhan kami! Terimalah, daripada kami amal kami sesungguhnya Engkau amat mendengar lagi Amat Mengetahui." (surah al-Baqarah ayat 127).

Apabila binaan sudah meninggi, Nabi Ismail, menglurkan batu besar yang cukup tinggi dan diambil oleh Nabi Ibrahim dan membina Baitullah sehingga ia siap pembinaannya. Maka dengan kehendak Allah S.W.T sebaik saja Nabi Ibrahim meletakkan kakinya di batu besar itu, maka terlekatlah tapak kaki Nabi Ibrahim sepertimana dapat kita melihatnya sehingga hari ini dekat Baitullah. Dan ini adalah suatu tanda kebesaran Allah S.W.T.
Apabila agama Islam datang, Allah S.W.T mensyariatkan untuk bersembahyang di belakang maqam Ibrahim sepertimana firman Allah yang bermaksud, "Dan jadikanlah oleh kamu maqam Ibrahim itu tempat sembahyang." (surah al-Baqarah ayat 125).

Yang dikatakan maqam Nabi Ibrahim itu adalah kedua belah bekas tapak kaki beliau dan bukan kubur Nabi Ibrahim.
Setelah selesai pembinaan Baitullah, maka Allah S.W.T memerintahkan Nabi Ibrahim memberi kebenaran kepada umat manusia menunaikan haji di Baitullah. Firman Allah S.W.T yang bermaksud, "Dan serulah umat manusia untuk datang mengerjakan haji, nescaya mereka akan datang ke (Rumah Allah)mu dengan berjalan kaki, dengan berkenderaan berjenis-jenis unta yang kurus, yang datangnya dari berbagai jalan (ceruk rantau) yang jauh." (surah al-Haj ayat 27).

Setelah itu Nabi Ibrahim naik ke gunung (Jabal) Abi Qubais satu gunung yang paling dekat dengan baitullah dan di sana beliau memanggil dengan nama Allah, "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Tuhan kamu telah membina satu rumah-Nya bagi kamu, oleh itu hendaklah kamu semua tunaikan haji di sana."
Nabi Ibrahim menyeru ke kanan dan ke kiri seolah-olah orang melaungkan azan. Allah S.W>T menyampaika seruan Nabi Ibrahim a.s pada setiap orang yang diciptakan dalam bacaan talbiah dan itulah pernyataan semua orang yang mengerjakan fardhu haji, kerana haji itu tidak akan sah tanpa talbiah.

Bacaan talbiah antara lainnya, "Labbaikallahhummalabbaik" yang bermakna, aku datang untuk menunaikan panggilan-Mu ya Allah.
Menunaikan haji adalah salah satu rukun Islam, oleh itu hendaklah kita menunaikannya apabila kita sudah mampu melaksanakannya. Banyak orang menunaikan haji, tetapi sekembali mereka dari menunaikan haji yang sangat menyedihkan ialah terdapat juga orang yang melakukan maksiat lebih teruk dari masa sebelum menunaikan haji. Oleh itu, hendaklah kita mulakan dengan sembahyang, puasa, zakat dan seterusnya menunaikan haji.

Kalau kita menunaikan haji tanpa mengerjakan sembahyang lima waktu maka sia-sia sahaja haji yang kita lakukan sebab ia tidak akan diterima oleh Allah S.W.T. Dan ini adalah salah satu punca mereka yang kembali dari menunaikan haji melakukan bermacam-macam maksiat.
Bagi mereka yang mendapat kenikmatan haji mereka ini tidak akan berani melakukan kerja-kerja yang dimurkai oleh Allah S.W.T sebaliknya mereka akan berusaha untuk menjadi muslim yang sempurna. Tanpa mengerjakan sembahyang, maka semua kerja-kerja yang berbentuk amal, sedekah, zakat dan sebagainya semuanya itu tidak akan diterima oleh Allah S.W.T.

KISAH MALAIKAT JIBRIL DAN MALAIKAT MIKAIL MENANGIS

Dalam sebuah kitab karangan Imam al-Ghazali menyebutkan bahawa iblis itu sesungguhnya namanya disebut sebagai al-Abid (ahli ibadah) pada langit yang pertama, pada langit yang keduanya disebut az-Zahid. Pada langit ketiga, namanya disebut al-Arif. Pada langit keempat, namanya adalah al-Wali. Pada langit kelima, namanya disebut at-Taqi. Pada langit keenam namanya disebut al-Kazin. Pada langit ketujuh namanya disebut Azazil manakala dalam Luh Mahfudz, namanya ialah iblis.

Dia (iblis) lupa akibat urusannya. Maka Allah S.W.T telah memerintahkannya sujud kepada Adam. Lalu iblis berkata, "Adakah Engkau mengutamakannya daripada aku, sedangkan aku lebih baik daripadanya. Engkau jadikan aku daripada api dan Engkau jadikan Adam daripada tanah."
Lalu Allah S.W.T berfirman yang maksudnya, "Aku membuat apa yang aku kehendaki." Oleh kerana iblis memandang dirinya penuh keagungan, maka dia enggan sujud kepada Adam A.S kerana bangga dan sombong.
Dia berdiri tegak sampai saatnya malaikat bersujud dalam waktu yang berlalu. Ketika para malaikat mengangkat kepala mereka, mereka mendapati iblis tidak sujud sedang mereka telah selesai sujud. Maka para malaikat bersujud lagi bagi kali kedua kerana bersyukur, tetapi iblis tetap angkuh dan enggan sujud. Dia berdiri tegak dan memaling dari para malaikat yang sedang bersujud. Dia tidak ingin mengikut mereka dan tidak pula dia merasa menyesal atas keengganannya.

Kemudian Allah S.W.T merubahkan mukanya pada asalnya yang sangat indah cemerlangan kepada bentuk seperti babi hutan. Allah S.W.T membentukkan kepalanya seperti kepala unta, dadanya seperti daging yang menonjol di atas punggung, wajah yang ada di antara dada dan kepala itu seperti wajah kera, kedua matanya terbelah pada sepanjang permukaan wajahnya. Lubang hidungnya terbuka seperti cerek tukang bekam, kedua bibirnya seperti bibir lembu, taringnya keluar seperti taring babi hutan dan janggut terdapat sebanyak tujuh helai.

Setelah itu, lalu Allah mengusirnya dari syurga, bahkan dari langit, dari bumi dan ke beberapa jazirah. Dia tidak akan masuk ke bumi melainkan dengan cara sembunyi. Allah S.W.T melaknatinya sehingga ke hari kiamat kerana dia menjadi kafir. Walaupun iblis itu pada sebelumnya sangat indah cemerlang rupanya, mempunyai sayap emapt, banyak ilmu, banyak ibadah serta menjadi kebanggan para malaikat dan pemukanya, dan dia juga pemimpin para malaikat karubiyin dan banyak lagi, tetapi semua itu tidak menjadi jaminan sama sekali baginya.

Ketika Allah S.W.T membalas tipu daya iblis, maka menangislah Jibril A.S dan Mikail. Lalu Allah S.W.T berfirman yang bermaksud, "Apakah yang membuat kamu menangis?" Lalu mereka menjawab, "Ya Allah! Kami tidaklah aman dari tipu dayamu."
Firman Allah bagi bermaksud, "Begitulah aku. Jadilah engkau berdua tidak aman dari tipu dayaku."
Setelah diusir, maka iblis pun berkata, "Ya Tuhanku, Engkau telah mengusir aku dari Syurga disebabkan Adam, dan aku tidak menguasainya melainkan dengan penguasaan-Mu."

Lalu Allah berfirman yang bermaksud, "Engkau dikuasakan atas dia, yakni atas anak cucunya, sebab para nabi adalah maksum."
Berkata lagi iblis, "Tambahkanlah lagi untukku." Allah berfirman yang maksudnya, "Tidak akan dilahirkan seorang anak baginya kecuali tentu dilahirkan untukmu dua padanya."
Berkata iblis lagi, "Tambahkanlah lagi untukku." Lalu Allah berfirman dengan maksud, "Dada-dada mereka adalah rumahmu, engkau berjalan di sana sejalan dengan peredaran darah."
Berkata iblis lagi, "Tambahkanlah lagi untukku." Maka Allah berfirman lagi yang bermaksud, "Dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukan yang berjalan kaki, artinya mintalah tolong menghadapi mereka dengan pembantu-pembantumu, baik yang naik kuda maupun yang berjalan kaki. Dan berserikatlah dengan mereka pada harta, yaitu mendorong mereka mengusahakannya dan mengarahkannya ke dalam haram."

"Dan pada anak-anak, iaitu dengan menganjurkan mereka dalam membuat perantara mendapat anak dengan cara yang dilarang, seperti melakukan senggama dalam masa haid, berbuat perkara-perkara syirik mengenai anak-anak itu dengan memberi nama mereka Abdul Uzza, menyesatkan mereka dengan cara mendorong ke arah agama yang batil, mata pencarian yang tercela dan perbuatan-perbuatan yang jahat dan berjanjilah mereka." (Hal ini ada disebutkan dalamsurah al-Isra ayat 64 yang bermaksud : "Gerakkanlah orang yang engkau kuasai di antara mereka dengan suara engkau dan kerahkanlah kepada mereka tentera engkau yang berkuda dan yang berjalan kaki dan serikanlah mereka pada harta dan anak-anak dan berjanjilah kepada mereka. Tak ada yang dijanjikan iblis kepada mereka melainkan (semata-mata) tipuan."

Kutitip Surat Ini Untukmu II

Semua mereka telah mendapatkan upahnya!? Mana upah yang
layak untukku wahai anakku! Dapatkah engkau berikan sedikit
perlindungan kepadaku di bawah naungan kebesaranmu? Dapatkah
engkau menganugerahkan sedikit kasih sayangmu demi mengobati
derita orang tua yang malang ini? Sedangkan Allah ta’ala
mencintai orang yang berbuat baik.

Wahai anakku!! Aku hanya ingin melihat wajahmu, dan aku
tidak menginginkan yang lain. Wahai anakku! Hatiku teriris,
air mataku mengalir, sedangkan engkau sehat wal afiat.
Orang-orang sering mengatakan bahwa engkau seorang
laki-laki supel, dermawan, dan berbudi.

Anakku… Tidak tersentuhkah hatimu terhadap seorang wanita
tua yang lemah, tidak terenyuhkah jiwamu melihat orang tua
yang telah renta ini,ia binasa dimakan oleh rindu,
berselimutkan kesedihan dan berpakaian kedukaan!? Bukan
karena apa-apa?! Akan tetapi hanya karena engkau telah
berhasil mengalirkan air matanya… Hanya karena engkau telah
membalasnya dengan luka di hatinya… hanya karena engkau
telah pandai menikam dirinya dengan belati durhakamu tepat
menghujam jantungnya… hanya karena engkau telah berhasil
pula memutuskan tali silaturrahim?!

Wahai anakku,
ibumu inilah sebenarnya pintu surga bagimu. Maka titilah
jembatan itu menujunya, lewatilah jalannya dengan senyuman
yang manis, pemaafan dan balas budi yang baik. Semoga aku
bertemu denganmu di sana dengan kasih sayang Allah ta’ala,
sebagaimana dalam hadits: “Orang tua adalah pintu surga
yang di tengah. Sekiranya engkau mau, maka sia-siakanlah
pintu itu atau jagalah!!” (HR. Ahmad)

Anakku. Aku sangat mengenalmu, tahu sifat dan akhlakmu.
Semenjak engkau telah beranjak dewasa saat itu pula
tamak dan labamu kepada pahala dan surga begitu tinggi.
Engkau selalu bercerita tentang keutamaan shalat
berjamaah dan shaf pertama. Engkau selalu berniat untuk
berinfak dan bersedekah.

Akan tetapi, anakku! Mungkin ada satu hadits yang
terlupakan olehmu! Satu keutamaan besar yang terlalaikan
olehmu yaitu bahwa Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu
berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, “Wahai Rasulullah, amal apa yang
paling mulia? Beliau bersabda: “Shalat pada waktunya”,
aku berkata: “Kemudian apa, wahai Rasulullah?” Beliau
bersabda: “Berbakti kepada kedua orang tua”, dan aku
berkata: “Kemudian, wahai Rasulullah!” Beliau menjawab,
“Jihad di jalan Allah”, lalu beliau diam. Sekiranya
aku bertanya lagi, niscaya beliau akan menjawabnya.
(Muttafaqun ‘alaih)

Wahai anakku!!
Ini aku, pahalamu, tanpa engkau bersusah payah untuk
memerdekakan budak atau berletih dalam berinfak. Pernahkah
engkau mendengar cerita seorang ayah yang telah meninggalkan
keluarga dan anak-anaknya dan berangkat jauh dari negerinya
untuk mencari tambang emas?! Setelah tiga puluh tahun dalam
perantauan, kiranya yang ia bawa pulang hanya tangan hampa
dan kegagalan. Dia telah gagal dalam usahanya. Setibanya
di rumah, orang tersebut tidak lagi melihat gubuk
reotnya, tetapi yang dilihatnya adalah sebuah perusahaan
tambang emas yang besar. Berletih mencari emas di
negeri orang kiranya, di sebelah gubuk reotnya orang
mendirikan tambang emas.

Begitulah perumpamaanmu dengan kebaikan. Engkau berletih
mencari pahala, engkau telah beramal banyak, tapi engkau
telah lupa bahwa di dekatmu ada pahala yang maha besar.
Di sampingmu ada orang yang dapat menghalangi atau
mempercepat amalmu. Bukankah ridhoku adalah keridhoan Allah
ta’ala, dan murkaku adalah kemurkaan-Nya?

Anakku, yang aku cemaskan terhadapmu, yang aku takutkan
bahwa jangan-jangan engkaulah yang dimaksudkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya: “Merugilah
seseorang, merugilah seseorang, merugilah seseorang”,
dikatakan, “Siapa dia,wahai Rasulullah?, Rasulullah
menjawab, “Orang yang mendapatkan kedua ayah ibunya
ketika tua, dan tidak memasukkannya ke surga”. (HR. Muslim)

Anakku… Aku tidak akan angkat keluhan ini ke langit dan aku
tidak adukan duka ini kepada Allah, karena
sekiranya keluhan ini telah membumbung menembus awan,
melewati pintu-pintu langit, maka akan menimpamu kebinasaan
dan kesengsaraan yang tidak ada obatnya dan tidak ada dokter
yang dapat menyembuhkannya. Aku tidak akan melakukannya,
Nak! Bagaimana aku akan melakukannya sedangkan engkau
adalah jantung hatiku… Bagaimana ibumu ini kuat
menengadahkan tangannya ke langit sedangkan engkau
terkena do’a mustajab, padahal engkau bagiku adalah
kebahagiaan hidupku.

Bangunlah Nak!
Uban sudah mulai merambat di kepalamu. Akan berlalu masa
hingga engkau akan menjadi tua pula, dan al jaza’ min jinsil
amal… “Engkau akan memetik sesuai dengan apa yang engkau
tanam…” Aku tidak ingin engkau nantinya menulis surat yang
sama kepada anak-anakmu, engkau tulis dengan air matamu
sebagaimana aku menulisnya dengan air mata itu pula kepadamu.

Wahai anakku, bertaqwalah kepada Allah pada ibumu,
peganglah kakinya!! sesungguhnya surga di kakinya.
Basuhlah air matanya, balurlah kesedihannya, kencangkan
tulang ringkihnya, dan kokohkan badannya yang telah lapuk.

Anakku… Setelah
engkau membaca surat ini,terserah padamu! Apakah engkau
sadar dan akan kembali atau engkau ingin
merobeknya.

Wassalam,
Ibumu

Kutitip Surat Ini Untukmu I

Assalamu’alaikum,
Segala puji Ibu panjatkan kehadirat Allah ta’ala yang telah
memudahkan Ibu untuk beribadah kepada-Nya. Shalawat serta
salam Ibu sampaikan kepada Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam, keluarga dan para sahabatnya. Amin…

Wahai anakku,
Surat ini datang dari Ibumu yang selalu dirundung sengsara…
Setelah berpikir panjang Ibu mencoba untuk menulis dan
menggoreskan pena, sekalipun keraguan dan rasa malu
menyelimuti diri. Setiap kali menulis, setiap kali itu pula
gores tulisan terhalang oleh tangis, dan setiap kali
menitikkan air mata setiap itu pula hati terluka…

Wahai anakku!
Sepanjang masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau
telah menjadi laki-laki dewasa, laki-laki yang cerdas
dan bijak! Karenanya engkau pantas membaca tulisan ini,
sekalipun nantinya engkau remas kertas ini lalu engkau
merobeknya, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hati
dan telah engkau robek pula perasaanku.

Wahai anakku…
25 tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahun
kebahagiaan dalam kehidupanku.Suatu ketika dokter datang
menyampaikan kabar tentang kehamilanku dan semua ibu sangat
mengetahui arti kalimat tersebut. Bercampur rasa gembira
dan bahagia dalam diri ini sebagaimana ia adalah awal mula
dari perubahan fisik dan emosi…

Semenjak kabar gembira tersebut aku membawamu 9 bulan.
Tidur, berdiri, makan dan bernafas dalam kesulitan.
Akan tetapi itu semua tidak mengurangi cinta dan kasih
sayangku kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama berjalannya
waktu.

Aku mengandungmu, wahai anakku! Pada kondisi lemah di atas
lemah, bersamaan dengan itu aku begitu gembira tatkala
merasakan melihat terjangan kakimu dan balikan
badanmu di perutku. Aku merasa puas setiap aku menimbang
diriku, karena semakin hari semakin bertambah berat
perutku, berarti engkau sehat wal afiat dalam rahimku.

Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, sampailah saat
itu, ketika fajar pada malam itu, yang aku tidak dapat tidur
dan memejamkan mataku barang sekejap pun. Aku merasakan
sakit yang tidak tertahankan dan rasa takut yang tidak bisa
dilukiskan. Sakit itu terus berlanjut sehingga membuatku
tidak dapat lagi menangis.

Sebanyak itu pula aku melihat kematian menari-nari di
pelupuk mataku, hingga tibalah waktunya engkau keluar
ke dunia. Engkau pun lahir… Tangisku bercampur dengan
tangismu, air mata kebahagiaan. Dengan semua itu, sirna
semua keletihan dan kesedihan, hilang semua sakit dan
penderitaan, bahkan kasihku padamu semakin bertambah
dengan bertambah kuatnya sakit. Aku raih dirimu sebelum
aku meraih minuman, aku peluk cium dirimu sebelum meneguk
satu tetes air ke kerongkonganku.

Wahai anakku…
telah berlalu tahun dari usiamu, aku membawamu dengan
hatiku dan memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku.
Saripati hidupku kuberikan kepadamu. Aku tidak tidur demi
tidurmu, berletih demi kebahagiaanmu.

Harapanku pada setiap harinya, agar aku melihat senyumanmu.
Kebahagiaanku setiap saat adalah celotehmu dalam meminta
sesuatu, agar aku berbuat sesuatu untukmu…itulah
kebahagiaanku!

Kemudian, berlalulah waktu. Hari berganti hari, bulan
berganti bulan dan tahun berganti tahun. Selama itu pula
aku setia menjadi pelayanmu yang tidak pernah lalai,
menjadi dayangmu yang tidak pernah berhenti, dan
menjadi pekerjamu yang tidak pernah mengenal lelah serta
mendo’akan selalu kebaikan dan taufiq untukmu.

Aku selalu memperhatikan dirimu hari demi hari hingga
engkau menjadi dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu
yang kekar, kumis dan jambang tipis yang telah menghiasi
wajahmu, telah menambah ketampananmu. Tatkala itu aku mulai
melirik ke kiri dan ke kanan demi mencari pasangan hidupmu.
Semakin dekat hari perkawinanmu, semakin dekat pula hari
kepergianmu. saat itu pula hatiku mulai serasa teriris-iris,
air mataku mengalir, entah apa rasanya hati ini. Bahagia
telah bercampur dengan duka, tangis telah bercampur pula
dengan tawa. Bahagia karena engkau mendapatkan pasangan
dan sedih karena engkau pelipur hatiku akan berpisah
denganku.

Waktu berlalu seakan-akan aku menyeretnya dengan berat.
Kiranya setelah perkawinan itu aku tidak lagi mengenal
dirimu, senyummu yang selama ini menjadi pelipur duka dan
kesedihan, sekarang telah sirna bagaikan matahari yang
ditutupi oleh kegelapan malam. Tawamu yang selama ini
kujadikan buluh perindu,sekarang telah tenggelam seperti
batu yang dijatuhkan ke dalam kolam yang hening, dengan
dedaunan yang berguguran. Aku benar-benar tidak mengenalmu
lagi karena engkau telah melupakanku dan melupakan hakku.

Terasa lama hari-hari yang kulewati hanya untuk ingin
melihat rupamu.Detik demi detik kuhitung demi
mendengarkan suaramu. Akan tetapi penantian kurasakan
sangat panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk
melihat dan menanti kedatanganmu. Setiap kali berderit
pintu aku manyangka bahwa engkaulah orang yang datang itu.
Setiap kali telepon berdering aku merasa bahwa engkaulah
yang menelepon. Setiap suara kendaraan yang lewat aku
merasa bahwa engkaulah yang datang.Akan tetapi, semua itu
tidak ada.Penantianku sia-sia dan harapanku hancur
berkeping, yang ada hanya keputusasaan. Yang tersisa
hanyalah kesedihan dari semua keletihan yang
selama ini kurasakan. Sambil menangisi diri dan nasib
yang memang telah ditakdirkan oleh-Nya.

Anakku… ibumu ini tidaklah meminta banyak, dan tidaklah
menagih kepadamu yang bukan-bukan. Yang Ibu pinta, jadikan
ibumu sebagai sahabat dalam kehidupanmu. Jadikanlah ibumu
yang malang ini sebagai pembantu di rumahmu, agar bisa juga
aku menatap wajahmu, agar Ibu teringat pula dengan hari-hari
bahagia masa kecilmu.

Dan Ibu memohon kepadamu, Nak! Janganlah engkau memasang
jerat permusuhan denganku, jangan engkau buang wajahmu
ketika Ibu hendak memandang wajahmu!!

Yang Ibu tagih kepadamu, jadikanlah rumah ibumu, salah satu
tempat persinggahanmu, agar engkau dapat sekali-kali
singgah ke sana sekalipun hanya satu detik. Jangan jadikan
ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah engkau kunjungi,
atau sekiranya terpaksa engkau datangi sambil engkau tutup
hidungmu dan engkaupun berlalu pergi.

Anakku, telah bungkuk pula punggungku. Bergemetar tanganku,
karena badanku telah dimakan oleh usia dan digerogoti oleh
penyakit… Berdiri seharusnya dipapah, dudukpun
seharusnya dibopong, sekalipun begitu cintaku kepadamu
masih seperti dulu…

Masih seperti lautan yang tidak pernah kering. Masih seperti
angin yang tidak pernah berhenti. Sekiranya engakau
dimuliakan satu hari saja oleh seseorang, niscaya engkau
akan balas kebaikannya dengan kebaikan setimpal. Sedangkan
kepada ibumu… Mana balas budimu, nak!?

Mana balasan baikmu! Bukankah air susu seharusnya dibalas
dengan air susu serupa?! Akan tetapi kenapa nak! Susu yang
Ibu berikan engkau balas dengan tuba. Bukankah Allah ta’ala
telah berfirman, “Bukankah balasan kebaikan kecuali dengan
kebaikan pula?!” (QS. Ar Rahman: 60) Sampai begitu keraskah
hatimu, dan sudah begitu jauhkah dirimu?! Setelah
berlalunya hari dan berselangnya waktu?!

Wahai anakku, setiap kali aku mendengar bahwa engkau bahagia
dengan hidupmu, setiap itu pula bertambah kebahagiaanku.
Bagaimana tidak, engkau adalah buah dari kedua tanganku,
engkaulah hasil dari keletihanku. Engkaulah laba dari semua
usahaku! Kiranya dosa apa yang telah kuperbuat sehingga
engkau jadikan diriku musuh bebuyutanmu?!

Pernahkah aku berbuat khilaf dalam salah satu waktu selama
bergaul denganmu, atau pernahkah aku berbuat lalai dalam
melayanimu? Terus, jika tidak demikian, sulitkah bagimu
menjadikan statusku sebagai budak dan pembantu yang paling
hina dari sekian banyak pembantumu .

YA ALLAH, LINDUNGILAH AKU DARI ADZAB NERAKA II

Panas An Naar
Para pembaca yang semoga Allah subhanahu wata’ala tetap melimpahkan rahmat-Nya kepada kita, bahwa An Naar (neraka) itu adalah suatu tempat tinggal yang memiliki daya panas yang dahsyat. Kadar terpanas yang ada di dunia itu belum seberapa dibanding dengan panasnya api neraka. Allah berfirman (artinya):
“Maka, Kami akan memperingatkan kamu dengan An Naar yang menyala-nyala.” (Al Lail : 14)
Bagaimana gambaran dahsyatnya api neraka yang telah Allah subhanahu wata’ala sediakan itu? Hal itu telah digambarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadist yang diriwayatkan shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
“(Panasnya) api yang kalian (Bani Adam) nyalakan di dunia ini merupakan sebagian dari tujuh puluh bagian panasnya api neraka Jahannam.” Para sahabat bertanya: “Demi Allah, apakah itu sudah cukup wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam” Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “(Belum), sesungguhnya panasnya sebagian yang satu melebihi sebagian yang lainnya sebanyak enam puluh kali lipat.” (HR. Muslim no. 2843)

Api neraka itu juga melontarkan bunga-bunga api. Seberapa besar dan bagaimana warna bunga api tersebut? Allah subhanahu wata’ala telah gambarkan hal tersebut dalam surat Al Mursalat: 32-33 (artinya): “Sesungguhnya neraka itu melontarkan bunga api sebesar dan setinggi istana. Seolah-olah seperti iringan unta yang kuning.”
Berkata Asy Syaikh As Sa’di dalam tafsir ayat ini: “Sesungguhnya api neraka itu hitam mengerikan dan sangat panas.” (Lihat Taisirul Karimir Rahman)

Bagaimana dengan suara api neraka itu?
Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Apabila An Naar melihat mereka dari tempat yang jauh, mereka mendengar kegeramannya dan suara yang menyala-nyala.” (Al Furqon : 12)
Berkata As Sa’di dalam tafsirnya: “Sebelum orang-orang penghuni sampai ke An Naar, dari jauh mereka sudah mendengar kengerian suaranya yang menggoncangkan dan menyempitkan hati, hampir-hampir seorang dari mereka mati karena ketakutan dengan suaranya. Sungguh api neraka itu murka kepada mereka karena kemurkaan Allah. Dan semakin bertambah murkanya disebabkan semakin besar kekufuran dan kedurhakaan mereka kepada Allah. (Lihat Taisirul Karimir Rahman)

Lalu dari bahan bakar apakah yang dengannya Allah subhanahu wata’ala menjadikan api neraka itu dahsyat dan bersuara yang mengerikan? Ketahuilah, untuk menunjukkan semakin ngerinya dan pedihnya siksaan di neraka, maka Allah subhanahu wata’ala jadikan bahan bakar api neraka itu dari manusia dan batu. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Jagalah dirimu dari (lahapan api) neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Al Baqarah: 24)

Makanan Dan Minuman Penghui An Naar
Apakah para penghuni jahannam juga mendapatkan hidangan makan dan minuman? Ya, tapi tidak seperti penjara di dunia yang masih menaruh belas kasih. Penjara di akhirat itu adalah tempat siksaan diatas siksaan dan kepedihan diatas kepedihan. Makanan dan minuman yang dihidangkan pun sebagai bentuk adzab dan siksaan.

a. Makanan Yang Berduri
Allah berfirman (artinya):
“Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri, yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan rasa lapar.” (Al Ghasiyah: 6-7)
“Dan makanan yang menyumbat di kerongkongan dan azab yang pedih.” Al Muzammil: 13
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menjelaskan tentang ayat diatas: Bahwa “makanan yang menyumbat di kerongkongan” itu adalah duri yang nyangkut di kerongkongan yang tidak bisa masuk dan tidak pula keluar. Sehingga makanan itu hanya akan menambah kepedihan dan kesengsaraan.

b. Pohon Zaqqum
Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Sesungguhnya kalian wahai orang-orang yang sesat lagi mendustakan, kalian benar-benar akan memakan pohon zaqqum. Dan kalian akan memenuhi perutmu dengannya.” (Al Waqi’ah: 51-53)
Apakah pohon zaqquum itu? Apakah pohon itu enak lagi lezat? Tentu tidak, justru pohon itu hanya akan menambah kepedihan dan kesengsaraan pula.
Allah subhanahu wata’ala mensifati lebih lanjut tentang pohon zaqqum dalam ayat lainnya (artinya): “Sesungguhnya dia adalah sebatang pohon yang keluar dari dasar neraka jahim. Mayangnya seperti kepala syaitan-syaitan. Maka sesungguhnya mereka benar-benar memakan sebagian dari buah pohon itu. Maka mereka memenuhi perutnya dengan buah zaqqum tersebut.” (Ash Shaffat : 64-66)
Tatkala para penghuni neraka haus karena terbakar. Maka Allah subhanahu wata’ala sudah siapkan hidangan minuman bagi mereka yang akan menambah pedih siksaan mereka. Minuman berupa nanah dan air panas yang dapat memotong usus-usus mereka. Allah berfirman (artinya): “Kemudian sesudah makan buah pohon zaqqum itu pasti mereka mendapat minuman yang bercampur dengan air yang sangat panas..” (Ash Shaffat: 67-68)
“… dan mereka diberi minuman air yang mendidih sehingga memotong usus-usus mereka.” (Muhammad: 15)
“Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman, selain air yang mendidih dan nanah.” An Naba’ : 24-25

Pakaian Penghuni An Naar
Mereka juga akan dikenakan pakaian. Tentu pakaian itu tidak dibuat untuk kenyamanan. Justru pakaian itu sengaja disiapkan untuk menambah kesengsaraan bagi para penghuni nereka. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Pakaian mereka adalah dari pelangkin (ter) dan muka mereka ditutup oleh api neraka.” (Ibrahim : 50)
“Maka orang kafir akan dibuatkan untuk mereka pakaian-pakaian dari api neraka…,” (Al Haj : 19)

Tempat Tidur Penghuni An Naar
Demikian juga mereka telah disiapkan tempat tidur dan selimut. Yang sengaja dibuat untuk menambah kepedihan adzab bagi mereka. Allah subhanahu wata’ala berfirman: “Mereka mempunyai tikar tidur dari api neraka dan di atas mereka ada selimut (api neraka). Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang zhalim.” (Al A’raf: 41)

Pembaca yang dimuliakan Allah, setelah kita mengetahui kengerian dahsyatnya adzab neraka, maka banyak-banyaklah kita berdo’a, bertaubat dan beramal shalih. Karena Allah dengan rahmat-Nya hanya akan menyelamatkan hamba-hamba-Nya yang bertaqwa kepada-Nya dan takut dari adzab neraka. Yatiu dengan melaksakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi laranga-larangan-Nya. Ya Allah, tunjukilah kami ke dalam jalan-Mu yang lurus yang menghantarkan ke dalam Al Jannah (surga) dan jauhkanlah kami dari jalan-jalan yang menghantarkan ke dalam api neraka.!!! Amiin, Ya Rabbal alamiin.

YA ALLAH, LINDUNGILAH AKU DARI ADZAB NERAKA I

Wahai saudaraku, semoga Allah subhanahu wata’ala senantiasa mencurahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada kita, ketahuilah…!!!, bahwa Al Jannah (surga) adalah tempat tinggal yang kekal, penuh dengan kenikmatan yang lezat yang tidak bisa dibandingkan dengan segala kenikmatan yang ada di dunia. Itulah negeri yang hanya bisa dicapai oleh orang-orang yang bertaqwa kepada Allah subhanahu wata’ala. Bagi yang tidak diizinkan memasukinya maka tiada tempat lagi baginya kecuali an naar (neraka). Suatu tempat tinggal yang penuh dengan kengerian yang tidak bisa digambarkan dengan kengerian di dunia. Sejelek-jeleknya tempat tinggal dan seburuk-buruknya tempat kembali.

Itulah tempat tinggal yang bakal dihuni oleh orang-orang yang tidak mau tunduk dan taat kepada Allah subhanahu wata’ala dan itulah tempat kembali bagi orang-orang yang enggan terhadap petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Bicara tentang negeri akhirat merupakan topik yang seharusnya dijadikan headline (kajian utama) bagi orang-orang yang beriman tentang hari akhir. Suatu kajian yang akan melembutkan hati, menundukkan pandangan, meneteskan air mata dan meredam hawa nafsu. Menjadikan sedikit ketawa dan canda. Mengingatkan tentang ajal (maut) yang datang secara tiba-tiba. Tidak membedakan tua dan muda. Sudahkah kita siap mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan yang kita lakukan di hari kiamat kelak? Inilah sebuah pertanyaan yang besar. Sebuah pertanyaan yang mesti membutuhkan jawaban. Maka siapkanlah jawabannya sebelum nanti ditanya di hari kiamat kelak!!! Ya, Allah selamatkanlah kami dari pedihnya adzab neraka!!!
Dari shahabat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya kalian melihat apa yang aku lihat, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” Para shahabat bertanya: “Apa yang engkau lihat ya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam” Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Saya melihat Al Jannah dan An Naar.” (HR. Muslim Kitab Sholat no. 426)


Edisi kali ini akan menyajikan topik yang berkaitan dengan sifat-sifat An Naar. Dengan harapan dapat menambah rasa takut kita kepada Allah subhanahu wata’ala. Mendorong untuk berlomba-lomba memperbanyak amal kebajikan. Tiada benteng yang mampu menahan dahsyatnya api neraka melaikan benteng dari amal kebajikan.

Luas An Naar
An Naar (neraka) memiliki area yang amat luas yang daya tampungnya tidak akan penuh meskipun dimasuki oleh orang–orang durhaka sejak zaman Nabi Adam sampai hari kiamat. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Pada hari itu Kami bertanya kepada Jahannam: “Apakah kamu sudah penuh?” Jahannam menjawab: “Masihkah ada tambahan?” (Qoof: 30)
Ayat di atas menggambarkan betapa luas dan besarnya Jahannam itu. Meskipun Jahannam dilempari dari seluruh jin dan manusia (yang durhaka) dari masa nabi Adam sampai hari kiamat nanti, namun belum bisa memenuhinya.

Kedalaman An Naar
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan tentang dalamnya An Naar dalam sebuah hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: “Kami pernah bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba kami mendengar sesuatu yang jatuh, lalu beliau bersabda: “Tahukah kalian apakah itu?” Kami (para shahabat) menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Kemudian beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Ini adalah sebuah batu yang dilemparkan dari atas An Naar sejak tujuh puluh tahun yang lalu, sekarang batu itu baru sampai di dasarnya.” (HR. Muslim no. 2844)
Masyaa Allah, betapa dalamnya An Naar!?!, sebuah batu yang dilemparkan dari tepi jurang/bibir An Naar, baru sampai ke dasarnya setelah 70 puluh tahun lamanya. Maka, jarak kedalaman An Naar itu hanya Allah subhanahu wata’ala lah yang tahu.

Pintu Jahannam
An Naar memiliki 7 pintu yang akan dilewati dari pintu-pintu tersebut oleh para penghuni neraka sesuai dengan kadar dosa dan maksiat yang mereka lakukan di dunia. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Dan Sesungguhnya Jahannam itu benar-benar tempat yang telah diancamkan kepada mereka (pengekor-pengekor setan) semuanya. Jahannam itu mempunyai tujuh pintu, tiap-tiap pintu (telah ditetapkan) untuk golongan yang tertentu dari mereka.” (Al Hijr: 43-44)

Belenggu An Naar
Allah subhanahu wata’ala juga menyediakan belenggu-belenggu yang sangat berat dan menyiksa. Sehingga para penghuni An Naar itu tidak bisa lari dan berkutik. Siap merasakan hukuman dan siksaan. Allah berfirman (artinya): “Karena sesungguhnya pada sisi kami ada belenggu-belenggu yang berat dan neraka yang menyala-nyala.” (Al Muzammil: 12)

“Dan kamu akan melihat orang-orang yang berdosa pada hari itu diikat bersama-sama dengan belenggu.” (Ibrahim : 49)

Penjaga An Naar
Allah subhanahu wata’ala juga telah menyiapkan algojo yang siap mengawasi dan menyiksa para penghuni An Naar. Allah memilih algojo (penjaga) itu dari kalangan malaikat. Allah berfirman (artinya):
“Dan tiada Kami jadikan penjaga An Naar melainkan dari malaikat.” (Al Mudatstsir: 31)

Ramalan Bintang...!!!

Segala puji bagi Allah, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, keluarganya dan para sahabatnya serta orang yang mengikuti petunjuknya.

Sebagian koran dan majalah telah sengaja membuat pojok khusus yang menyebarkan tentang ramalan bintang, yang ditulis dengan judul yang menarik yang bisa menipu orang yang tidak memiliki ilmu tentang haramnya ramalan bintang.

Di antara judul itu adalah: Kamu dan Bintang, Ramalan Nasib, Nasibmu Pekan Ini, dan lain sebagainya. Di antaranya ada yang ditulis dengan cara menyebutkan gugus bintang seperti: Bintang Aquarius, Leo, Libra, Cancer dan lain-lain. Ada juga yang ditulis dengan cara menghitung bulan, dengan membuat jadwal bulan ini dan bulan ini. Ada pula yang ditulis dengan metode tahunan.

Ketahuilah wahai saudaraku yang aku cintai, bahwa tidak ada yang mengetahui hal yang ghaib selain Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Katakanlah; ‘Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah’,....”(An-Naml: 65).

Para imam madzhab (yang empat) telah sepakat akan haramnya ramalan bintang. Imam Nawawi berkata: “Buku-buku tentang ilmu nujum, ramalan dan yang lainnya dari ilmu yang batil dan diharamkan, maka menjualnya adalah batil karena tidak ada manfaat yang dibolehkan, di mana Ibnu Hajar al-Haitsami as-Syafi’i menganggapnya termasuk dari dosa-dosa besar.”(Majmu’ [9/240]).

Sebagian orang-orang bodoh dan yang lemah iman malahan terkadang pergi kepada ahli nujum (tukang ramal) dan bertanya kepada mereka tentang masa depannya, apa yang bakal menimpanya, tentang pernikahannya, dan sebagainya. Padahal barangsiapa mengaku menggetahui ilmu ghaib atau membenarkan/percaya kepada orang yang mengaku hal tersebut, maka dia adalah musyrik dan kafir, sebab dia mengaku bersekutu dengan Allah dalam hal yang merupakan kekhususan bagi Allah.

Ketahuilah bahwa bintang-bintang itu adalah makhluk yang tunduk kepada Allah. Bintang-bintang itu tidaklah menunjukkan kesengsaraan maupun kebahagiaan dan kematian maupun kehidupan.
Telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Ahmad, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang mendatangi seorang peramal lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka shalatnya tidak akan diterima selama 40 malam.”(HR. Muslim [no.2230] dan Ahmad [IV/68, V/380]. Lafazh ini adalah lafazh milik Muslim.)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang mendatangi seorang peramal atau dukun kemudian membenarkan apa yang ia katakan, maka orang itu telah kafir dengan apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.”(HR.Ahmad [II/429], al-Baihaqi dalam sunannya [VIII/135], al-Hakim [1/8] dishahihkan oleh al-Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi.)
Allahu a'lam.


Penulis:
Abu Aslam Benny al-Minangkabawi


Rujukan:
1. Kitab Tauhid 3, Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, cet. IX-Darul Haq, th. 1428 H.
2. Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. III-Pustaka Imam Syafi’i, th 1427 H.
3. An-Nashihah, Volume 13 tahun 1429 H. (Penjelasan Dari Lajnah Da’imah Lil Buhuts Ilmiyah Wal Ifta’.)

Asiyah, Wanita yang Ditampakkan Surga Untuknya

Wanita, sosok lemah dan tak berdaya yang terbayangkan. Dengan lemahnya fisik, Allah tidak membebankan tanggung jawab nafkah di pundak wanita, memberi banyak keringanan dalam ibadah dan perkara lainnya. Mereka adalah sosok yang mudah mengeluh dan tidak tahan dengan beban yang menghimpitnya. Dengan kebengkokannya sehingga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk bersikap lembut dan banyak mewasiatkan agar bersikap baik kepadanya. Oleh karena itu, tidak mengherankan kiranya jika Allah Tabaroka wa Ta’ala dengan segala hikmah-Nya mengamanahkan kaum wanita kepada kaum laki-laki.

Namun, kelemahan itu tak harus melunturkan keteguhan iman. Sebagaimana keteguhan salah seorang putri, istri dari seorang suami yang menjadi musuh Allah Rabb alam semesta. Seorang suami yang angkuh atas kekuasaan yang ada di tangannya, yang dusta lagi kufur kepada Rabbnya. Putri yang akhirnya harus disiksa oleh tangan suaminya sendiri, yang disiksa karena keimanannya kepada Allah Dzat Yang Maha Tinggi. Dialah Asiyah binti Muzahim, istri Fir’aun.

Ketika mengetahui keimanan istrinya kepada Allah, maka murkalah Fir’aun. Dengan keimanan dan keteguhan hati, wanita shalihah tersebut tidak goyah pendiriaannya, meski mendapat ancaman dan siksaan dari suaminya.

Kemudian keluarlah sang suami yang dzalim ini kepada kaumnya dan berkata pada mereka, “Apa yang kalian ketahui tentang Asiyah binti Muzahaim?” Mereka menyanjungnya.Lalu Fir’aun berkata lagi kepada mereka,“Sesungguhnya dia menyembah Tuhan selainku.” Berkatalah mereka kepadanya,“Bunuhlah dia!”

Alangkah beratnya ujian wanita ini, disiksa oleh suaminya sendiri.

Dimulailah siksaan itu, Fir’aun pun memerintahkan para algojonya untuk memasang tonggak. Diikatlah kedua tangan dan kaki Asiyah pada tonggak tersebut, kemudian dibawanya wanita tersebut di bawah sengatan terik matahari. Belum cukup sampai disitu siksaan yang ditimpakan suaminya. Kedua tangan dan kaki Asiyah dipaku dan di atas punggungnya diletakkan batu yang besar. Subhanallah…saudariku, mampukah kita menghadapi siksaan semacam itu? Siksaan yang lebih layak ditimpakan kepada seorang laki-laki yang lebih kuat secara fisik dan bukan ditimpakan atas diri wanita yang bertubuh lemah tak berdaya. Siksaan yang apabila ditimpakan atas wanita sekarang, mugkin akan lebih memilih menyerah daripada mengalami siksaan semacam itu.

Namun, akankah siksaan itu menggeser keteguhan hati Asiyah walau sekejap? Sungguh siksaan itu tak sedikitpun mampu menggeser keimanan wanita mulia itu. Akan tetapi, siksaan-siksaan itu justru semakin menguatkan keimanannya.

Iman yang berangkat dari hati yang tulus, apapun yang menimpanya tidak sebanding dengan harapan atas apa yang dijanjikan di sisi Allah Tabaroka wa Ta’ala. Maka Allah pun tidak menyia-nyiakan keteguhan iman wanita ini. Ketika Fir’aun dan algojonya meninggalkan Asiyah, para malaikat pun datang menaunginya.

Di tengah beratnya siksaan yang menimpanya, wanita mulia ini senantiasa berdo’a memohon untuk dibuatkan rumah di surga. Allah mengabulkan doa Asiyah, maka disingkaplah hijab dan ia melihat rumahnya yang dibangun di dalam surga. Diabadikanlah doa wanita mulia ini di dalam al-Qur’an,

“Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkan aku dari kaum yang dzalim.” (Qs. At-Tahrim:11)

Ketika melihat rumahnya di surga dibangun, maka berbahagialah wanita mulia ini. Semakin hari semakin kuat kerinduan hatinya untuk memasukinya. Ia tak peduli lagi dengan siksaan Fir’aun dan algojonya. Ia malah tersenyum gembira yang membuat Fir’aun bingung dan terheran-heran. Bagaimana mungkin orang yang disiksa akan tetapi malah tertawa riang? Sungguh terasa aneh semua itu baginya. Jika seandainya apa yang dilihat wanita ini ditampakkan juga padanya, maka kekuasaan dan kerajaannya tidak ada apa-apanya.

Maka tibalah saat-saat terakhir di dunia. Allah mencabut jiwa suci wanita shalihah ini dan menaikkannya menuju rahmat dan keridhaan-Nya. Berakhir sudah penderitaan dan siksaan dunia, siksaan dari suami yang tak berperikemanusiaan.

Saudariku..tidakkah kita iri dengan kedudukan wanita mulia ini? Apakah kita tidak menginginkan kedudukan itu? Kedudukan tertinggi di sisi Allah Yang Maha Tinggi. Akan tetapi adakah kita telah berbuat amal untuk meraih kemuliaan itu? Kemuliaan yang hanya bisa diraih dengan amal shalih dan pengorbanan. Tidak ada kemuliaan diraih dengan memanjakan diri dan kemewahan.

Saudariku..tidakkah kita menjadikan Asiyah sebagai teladan hidup kita untuk meraih kemuliaan itu? Apakah kita tidak malu dengannya, dimana dia seorang istri raja, gemerlap dunia mampu diraihnya, istana dan segala kemewahannya dapat dengan mudah dinikmatinya. Namun, apa yang dipilihnya? Ia lebih memilih disiksa dan menderita karena keteguhan hati dan keimanannya. Ia lebih memilih kemuliaan di sisi Allah, bukan di sisi manusia. Jangan sampailah dunia yang tak seberapa ini melenakan kita. Melenakan kita untuk meraih janji Allah Ta’ala, surga dan kenikmatannya.

Saudariku…jangan sampai karena alasan kondisi kita mengorbankan keimanan kita, mengorbankan aqidah kita. Marilah kita teladani Asiyah binti Muzahim dalam mempertahankan iman. Jangan sampai bujuk rayu setan dan bala tentaranya menggoyahkan keyakinana kita. Janganlah penilaian manusia dijadikan ukuran, tapi jadikan penilaian Allah sebagai tujuan. Apapun keadaan yang menghimpit kita, seberat apapun situasinya, hendaknya ridha Allah lebih utama. Mudah-mudahan Allah mengaruniakan surga tertinggi yang penuh kenikmatan.

Penulis: Ummu Uwais Herlina Clara Sidi Pratiwi
Muraja’ah: ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar

Dapurku Surgaku

“Ukh, bingung nih mau masak apa buat suami. Ibu saya tadi datang bawa terong, tapi sayang bingung, terongnya harus diapain. Emang terong bisa dimasak apa aja sih, Ukh? Saya nyesel kenapa nggak dari dulu belajar masak…”

Kejadian di atas dialami salah seorang sahabat penulis seminggu pasca-menikah. Berangkat dari kejadian tersebut, penulis merasa perlu berbagi pengalaman bahwa memasak ternyata punya peran tersendiri dalam sebuah rumah tangga. Mungkin kejadian di atas tidak perlu membuahkan masalah jika si istri ternyata piawai dalam hal masak-memasak. Namun, bagaimana dengan mereka yang mengenal bumbu dapur saja tidak bisa?


Pentingkah Memasak?

Memasak merupakan aktivitas yang banyak dilakoni oleh para wanita sejak turun temurun. Meski sekarang tidak sedikit pula laki-laki yang handal memasak, namun dalam kehidupan rumah tangga, memasak tetap harus diperani oleh wanita. Sekilas kita lihat aktivitas ini mungkin sangat remeh-temeh. Tetapi pada prakteknya tidak akan semudah itu. Orang yang mengaku bisa masak pun terkadang suka dihampiri rasa tak percaya diri ketika masakannya harus dicicipi orang lain. Maka tidak heran jika para pengamat seni menempatkan masakan sebagai karya seni yang paling berharga di antara semua karya seni lainnya.

Begitu pentingnya memasak hingga tak jarang kita jumpai banyak orang yang terkagum-kagum dengan seseorang yang menguasai bidang ini. Pun seorang istri yang pintar masak. Dengan keahliannya tersebut akan membuat suaminya betah di rumah dan malas membeli makan di luar. Masakan yang enak bisa menjadi salah satu perekat cinta seorang suami kepada istrinya. Bahkan memasak untuk menyenangkan suami bisa menjadi ladang pahala jika diniatkan untuk ibadah kepada Allah. Karena salah satu ciri istri shalihah adalah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memenuhi semua hal yang disukai suaminya selama tidak dalam bermaksiat kepada Allah.

Memasak Sebagai Ladang Pahala

Saudariku –yang semoga senantiasa dirahmati Allah- apakah kalian menyadari bahwa kegiatan memasak ini ternyata bisa sekaligus menjadi kegiatan ibadah? Sebagai seorang muslimah kita diamanahkan untuk bertanggung jawab atas rumah kita dan menyiapkan makanan kepada semua orang yang ada di dalamnya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Penguasa adalah pemimpin, seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya. Jadi, setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya.” (HR. Bukhari)

Untuk itu tidak ada salahnya bagi seorang muslimah untuk menyiapkan santapan bagi keluarganya sebaik mungkin, demi melayani hamba-hamba Allah yang shalih, semisal suami, anak-anak, orang tua, dan semua orang yang ikut menikmati masakan yang kita masak. Dengan begitu, seorang muslimah akan ikut mengecap pahala yang Allah berikan kepada mereka, di mana sebenarnya kita sudah ikut membantu amal perbuatan mereka.

Memasak tidak hanya sekedar kegiatan meramu bumbu dan bahan makanan hingga terciptalah masakan lezat yang siap santap. Namun memasak juga bisa menjadi media kita untuk memikirkan dan mensyukuri semua nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Jika kita cermati, semuanya adalah rezeki yang telah Allah tentukan kepada kita. Karunia tersebut terlimpah dengan begitu mudah kepada kita setelah melalui proses campur tangan banyak orang.

Kita perhatikan saja sayur-sayuran yang kita santap. Akan kita dapati bahwa di sana ada yang menanaminya, ada yang mengumpulkan panennya, ada penjualnya, serta masih banyak lagi manusia yang berperan di dalamnya. Mereka dijadikan oleh Allah untuk melayani kita dan anggota keluarga kita. Padahal pada hakikatnya Allah-lah yang menanam dan menghidupkan sayuran tersebut sebagaimana firman-Nya, yang artinya,

“Pernahkah kamu perhatikan benih yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkan?” (Qs. Al Waqi’ah: 63-64)

Begitupun dengan nikmat yang lain yang banyak kita jumpai di meja makan kita. Allah berfirman mengenai hal ini, yang artinya,

“Dan dari langit Kami turunkan air yang memberi berkah, lalu Kami tumbuhkan dengan (air) itu pepohonan yang rindang dan biji-bijian yang dapat dipanen. Dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang tersusun-susun, (sebagai) rezeki bagi hamba-hamba Kami……” (Qs. Qaf: 9-11)

Adapun dalam memasak, hendaklah kita usahakan memasak berdasarkan apa yang menjadi kesukaan suami dan anak-anak serta keluarga kita. Ini semua dilakukan dengan harapan dapat membuat suami dan keluarga bahagia, demi wujud ketaatan kita kepada Allah. Cobalah tanyakan kepada mereka makanan apa saja yang mereka sukai, jika cara tersebut bisa menyenangkan mereka.

Kadang kita dapati seorang suami ternyata lebih pintar memasak daripada istrinya. Jika hal ini yang kita alami, janganlah merasa malu untuk belajar dari suami kita. Kita juga bisa menggunakan momen memasak bersama sebagai kesempatan untuk bercengkrama dengan suami sehingga terciptalah suasana kemesraan yang akan menambah rasa cinta di hati masing-masing.

Mari Memulainya dari Dapur

Saudariku, sebagai seorang muslimah yang ingin selalu meraih ridha Allah di setiap kesempatan, maka kita bisa memanfaatkan waktu-waktu kita di dapur untuk menjadi sarana mendekatkan diri kita kepada-Nya.

Berikut ini hikmah-hikmah yang bisa kita gali dari aktivitas memasak kita sehari-hari:

1. Saat masakan kita telah matang, maka hadirkanlah dalam benak kita betapa Allah telah menganugerahkan kepada kita nikmat untuk bisa menyelesaikan pekerjaan kita.
2. Saat memasak, cobalah untuk mengingat bahwa di luar sana masih banyak dapur-dapur yang tidak mengepul. Alangkah indahnya jika kita biasakan untuk selalu mengingat nasib fakir miskin, anak yatim, dan orang-orang yang membutuhkan yang ada di lingkungan tempat tinggal kita. Jika memungkinkan, kita bisa menyisakan sedikit dari jatah makan kita untuk mereka sebagai bentuk kepedulian kita terhadap mereka.
3. Ketika mencium aroma sedap masakan kita, saat itu ingatlah tetangga kita. Sebab bisa jadi tetangga kita juga turut mencium aroma masakan tersebut. Akan lebih baik lagi jika kita menghadiahkan sebagian masakan tersebut kepada mereka, khususnya untuk masakan-masakan spesial yang kita masak. Dengan hal ini akan mengakibatkan tumbuhnya rasa cinta, saling menghargai dan memperbaiki hubungan tetangga.
4. Dampak yang bisa kita peroleh dari sini adalah tetangga kita akan menghormati dakwah ini. Inilah di antara sarana yang paling sukses dan paling sederhana untuk memperkuat tali hubungan sosial dan menyuburkan sensitivitas perasaan hati kita. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, maka kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari)
5. Bagi yang sudah memiliki anak, mulailah untuk membiasakan mereka untuk ikut serta membantu kita memasak. Misalnya bisa dengan mempersiapkan bahan-bahan memasak, sehingga mereka benar-benar terampil. Di samping untuk mengenalkan apa-apa yang ada di dapur, hal ini juga untuk membuat mereka turut merasakan beban berat yang kita pikul. Sehingga mereka akan memberi penghormatan dan akan mudah memahami diri kita.
6. Ketika mengunjungi kerabat dan teman-teman dekat, kita bisa memilih masakan karya kita sendiri sebagai oleh-oleh untuk mereka.

Terakhir, sebelum melakukan kegiatan memasak, ada aktivitas lain yang biasa sering kita lakukan yakni berbelanja di pasar. Bila kita cermati, kegiatan belanja ini bisa kita gunakan sebagai perkenalan dengan para penjual langganan kita. Ini juga sebagai sarana untuk menjalin tali persaudaraan dengan mereka, atau sebagai bentuk interaksi kita dengan masyarakat, dengan catatan kita tetap harus memperhatikan adab-adab berinteraksi dengan penjual. Kesempatan ini bisa pula menjadi sarana dakwah kita kepada mereka. Di sela-sela interaksi dengan mereka, kita dapat mengenalkan hal-hal yang halal dan haram dalam masalah jual beli, dan hal-hal lain yang mungkin sering dipertanyakan banyak orang.

Mulailah Belajar

Bagi sebagian yang lain, memasak mungkin menjadi masalah bagi mereka. Ada beberapa faktor yang membuat seorang muslimah enggan untuk memasak. Salah satunya adalah rasa malas untuk belajar, di samping juga faktor kesibukan di luar rumah serta banyaknya warung makan yang menawarkan jasa catering untuk mereka yang tidak sempat memasak.

Jika hal tersebut berlangsung terus menerus apakah tidak boros? Bagaimana jika suami atau anak-anak berkeinginan mencoba hasil masakan kita. Apa kita masih akan memilih makanan dari luar terus? Tentu kita tidak ingin seperti itu. Untuk itu, bagi yang belum pintar masak, buanglah rasa malas dan teruslah berlatih. Setelah terbiasa, nanti akan terbukti bahwa memasak itu bukanlah hal yang sulit, apalagi jika diniatkan untuk ibadah.

Untuk memasak kita memang akan sedikit repot. Mempersiapkan segala sesuatunya, dari perapian, peralatan sampai bahan, belum nanti jika sudah selesai harus membersihkan atau membereskan semuanya. Agak melelahkan memang. Namun kelelahan itu akan segera berganti kebanggaan dan kebahagiaan ketika suami dan anak-anak kita menyantap masakannya dengan lahap.

Nah, bagaimana saudariku? Semoga tulisan ini bisa bermanfaat untuk kita semua, terutama bagi penulis sendiri. Kita memohon pertolongan Allah agar selalu memberi kita kemudahan dalam menunaikan tugas-tugas kita sebagai muslimah. Allahu Ta’ala a’lam.

Penulis: Ummu Rumman Azzahra
Muroja’ah: Ustadz Nurkholis, Lc.

PRINSIP-PRINSIP MENGKAJI AGAMA (5)

7. Menghindari perdebatan dalam agama. Nabi Shallallahu 'alayhi wa Sallam bersabda:

“Tidaklah sebuah kaum sesat setelah mereka berada di atas petunjuk kecuali mereka akan diberi sifat jadal (berdebat). Lalu beliau membaca ayat, artinya: ‘Bahkan mereka adalah kaum yang suka berbantah-bantahan’.” (Hasan, HR Tirmidzi dari Abu Umamah Al Bahili, dihasankan oleh As Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no: 5633)

Ibnu Rajab mengatakan: “Di antara sesuatu yang diingkari para Imam salafus shalih adalah perdebatan, berbantah-bantahan dalam masalah halal dan haram. Itu bukan jalannya para Imam agama ini.” (Fadl Ilm Salaf 57 dari Al-Intishar: 94).

Ibnu Abil Izz menerangkan makna mira’ (berbantah-bantahan) dalam agama Allah adalah membantah ahlul haq (pemegang kebenaran) dengan menyebutkan syubhat-syubhat ahlul bathil, dengan tujuan membuat keraguan padanya dan menyimpangkannya. Karena perbuatan yang demikian ini mengandung ajakan kepada kebatilan dan menyamarkan yang hak serta merusak agama Islam. (Syarh Aqidah Thahawiyah: 313)

Oleh karenanya Allah memerintahkan berdebat dengan yang paling baik. Firman-Nya:

“Ajaklah kepada jalan Rabb-Mu dengan hikmah, mau’idhah (nasihat) yang baik dan berdebatlah dengan yang paling baik.” (An-Nahl: 125).

Para ulama menerangkan bahwa perdebatan yang paling baik bisa terwujud jika niat masing-masing dari dua belah pihak baik. Masalah yang diperdebatkan juga baik dan mungkin dicapai kebenarannya dengan diskusi. Masing-masing beradab dengan adab yang baik, dan memang punya kemampuan ilmu serta siap menerima yang haq jika kebenaran itu muncul dari hasil perdebatan mereka. Juga bersikap adil serta menerima kembalinya orang yang kembali kepada kebenaran. (lihat rinciannya dalam Mauqif Ahlussunnah 2/587-611 dan Ar-Rad ‘Alal Mukhalif hal:56-62).

Perdebatan para shahabat dalam sebuah masalah adalah perdebatan musyawarah dan nasehat. Bisa jadi mereka berselisih dalam sebuah masalah ilmiah atau amaliah dengan tetap bersatu dan berukhuwwah. (Majmu’ Fatawa 24/172)

Inilah beberapa rambu-rambu dalam mengambil ilmu agama sebagaimana terdapat dalam Al Qur’an maupun hadits yang shahih serta keterangan para ulama. Kiranya itu bisa menjadi titik perhatian kita dalam kehidupan beragama ini, sehingga kita berharap bisa beragama sesuai yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya

PRINSIP-PRINSIP MENGKAJI AGAMA (4)

6. Tidak mengambil ilmu dari sisi akal atau rasio,

karena agama ini adalah wahyu dan bukan hasil penemuan akal. Allah berkata kepada Nabi-Nya:

“Katakanlah (Ya, Muhammad): ‘sesungguhnya aku memberi peringataan kepada kalian dengan wahyu.’.” (Al-Anbiya: 45)

“Dan tidaklah yang diucapkan itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)

Sungguh berbeda antara wahyu yang bersumber dari Allah Dzat yang Maha Sempurna yang sudah pasti wahyu tersebut memiliki kesempurnaan, dibanding akal yang berasal dari manusia yang bersifat lemah dan yang dihasilkannya pun lemah.

Jadi tidak boleh bagi siapapun meninggalkan dalil yang jelas dari Al Qur’an ataupun hadits yang shahih karena tidak sesuai dengan akalnya. Seseorang harus menundukkan akalnya di hadapan keduanya.

Ali bin Abi Thalib berkata: “Seandainya agama ini dengan akal maka tentunya bagian bawah khuf (semacam kaos kaki yang terbuat dari kulit) lebih utama untuk diusap (pada saat berwudhu-red) daripada bagian atasnya. Dan sungguh aku melihat Rasulullah mengusap bagian atas khuf-nya.” (shahih, HR Abu Dawud dishahihkan As-Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no:162).

Pada ucapan beliau ada keterangan bahwa dibolehkan seseorang mengusap bagian atas khuf-nya atau kaos kaki atau sepatunya ketika berwudhu dan tidak perlu mencopotnya jika terpenuhi syaratnya sebagaimana tersebut dalam buku-buku fikih. Yang jadi bahasan kita disini adalah ternyata yang diusap justru bagian atasnya, bukan bagian bawahnya. Padahal secara akal yang lebih berhak diusap adalah bagian bawahnya karena itulah yang kotor.

Ini menunjukkan bahwa agama ini murni dari wahyu dan kita yakin tidak akan bertentangan dengan akal yang sehat dan fitrah yang selamat. Masalahnya, terkadang akal tidak memahami hikmahnya, seperti dalam masalah ini. Bisa jadi syariat melihat dari pertimbangan lain yang belum kita mengerti.

Jangan sampai ketidakmengertian kita menjadikan kita menolak hadits yang shahih atau ayat Al Qur’an yang datang dari Allah yang pasti membawa kebaikan pada makhluk-Nya. Hendaknya kita mencontoh sikap Ali bin Abi Thalib di atas.

Abul Mudhaffar As Sam’ani menerangkan Akidah Ahlussunnah, katanya: “Adapun para pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan mereka, mencari agama dari keduanya. Adapun apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya mereka terima dan bersyukur kepada Allah yang telah memperlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik. Tapi kalau mereka dapati tidak sesuai dengan keduanya mereka meninggalkannya dan mengambil Kitab dan Sunnah lalu menuduh salah terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya keduanya tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang haq (kebenaran), sedangkan pendapat manusia kadang benar kadang salah.” (Al-Intishar li Ahlil Hadits: 99)

Ibnul Qoyyim menyimpulkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam:
a. Pendapat akal yang menyelisihi nash Al Qur’an atau As Sunnah.
b. Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang dibarengi dengan sikap menyepelekan mempelajari nash-nash, serta memahami dan mengambil hukum darinya.
c. Pendapat akal yang berakibat menolak asma’ (nama) Allah, sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas yang batil yang dibuat oleh para pengikut filsafat.
d. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya Sunnah.
e. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dengan anggapan baik dan prasangka.
Adapun pendapat akal yang terpuji, secara ringkas adalah yang sesuai dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat. (lihat, I’lam Muwaqqi’in: 1/104-106, Al- Intishar: 21,24, dan Al Aql wa Manzilatuhu)

PRINSIP-PRINSIP MENGKAJI AGAMA (3)

4. Waspada dari para da’i jahat.

Jahat yang dimaksud bukan dari sisi kriminal tapi lebih khusus adalah dari tinjauan keagamaan. Artinya mereka yang membawa ajaran-ajaran yang menyimpang dari aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, sedikit atau banyak. Di antara ciri-ciri mereka adalah yang suka berdalil dengan ayat-ayat yang belum begitu jelas maknanya untuk bisa mereka tafsirkan semau mereka. Dengan itu mereka maksudkan menebar fitnah yakni menyesatkan para pengikutnya. Allah berfirman:

“Adapun yang dalam hatinya terdapat penyelewengan (dari kebenaran) maka mereka mengikuti apa yang belum jelas dari ayat-ayat itu, (mereka) inginkan dengannya fitnah dan ingin mentakwilkannya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah.” (Ali-Imran: 7)

Ibnu Katsir mengatakan: “Menginginkan fitnah artinya ingin menyesatkan para pengikutnya dengan mengesankan bahwa mereka berhujjah dengan Al Qur’an untuk (membela) bid’ah mereka padahal Al Qur’an itu sendiri menyelisihinya. Ingin mentakwilkannya artinya menyelewengkan maknanya sesuai dengan apa yang mereka inginkan.” (Tafsir Ibnu Katsir: 1/353]

5. Memilih guru yang dikenal berpegang teguh kepada Sunnah Nabi dalam berakidah, beribadah, berakhlak dan mu’amalah.

Hal itu karena urusan ilmu adalah urusan agama sehingga tidak bisa seseorang sembarangan atau asal comot dalam mengambilnya tanpa peduli dari siapa dia dapatkan karena ini akan berakibat fatal sampai di akhirat kelak. Maka ia harus tahu siapa yang akan ia ambil ilmu agamanya.

Jangan sampai dia ambil agamanya dari orang yang memusuhi Sunnah atau memusuhi Ahlussunnah atau tidak pernah diketahui belajar akidah yang benar karena selama ini yang dipelajari adalah akidah-akidah yang salah atau mendapat ilmu hanya sekedar hasil bacaan tanpa bimbingan para ulama Ahlussunnah. Sangat dikhawatirkan, ia memiliki pemahaman-pemahaman yang salah karena hal tersebut.

Seorang tabi’in bernama Muhammad bin Sirin mengatakan: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.”

Beliau juga berkata:“Dahulu orang-orang tidak bertanya tentang sanad (rangkaian para rawi yang meriwayatkan) hadits, maka tatkala terjadi fitnah mereka mengatakan: sebutkan kepada kami sanad kalian, sehingga mereka melihat kepada Ahlussunnah lalu mereka menerima haditsnya dan melihat kepada ahlul bid’ah lalu menolak haditsnya.” (Riwayat Muslim dalam Muqaddimah Shahih-nya)

Nabi Shallallahu 'alayhi wa Sallam bersabda:

“Keberkahan itu berada pada orang-orang besar kalian.”
(Shahih, HR. Ibnu Hibban, Al Hakim, Ibnu Abdil Bar dari Ibnu Abbas, dalam kitab Jami’ Bayanul Ilm hal:614 dengan tahqiq Abul Asybal, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’:2887 dan As Shahihah:1778)

Dalam ucapan Abdullah bin Mas’ud:

“Manusia tetap akan baik selama mereka mengambil ilmu dari orang-orang besar mereka, jika mereka mengambilnya dari orang-orang kecil dan jahat di antara mereka, maka mereka akan binasa.”
Diriwayatkan pula yang semakna dengannya dari shahabat Umar bin Khattab. (Riwayat Ibnu Abdil Bar dalam Jami’ Bayanul Ilm hal: 615 dan 616, tahqiq Abul Asybal dan dishahihkan olehnya)

Ibnu Abdil Bar menukilkan dari sebagian ahlul ilmi (ulama) maksud dari hadits di atas:“Bahwa yang dimaksud dengan orang-orang kecil dalam hadits Umar dan hadits-hadits yang semakna dengannya adalah orang yang dimintai fatwa padahal tidak punya ilmu. Dan orang yang besar artinya yang berilmu tentang segala hal. Atau yang mengambil ilmu dari para shahabat.” (Lihat Jami’ Bayanil Ilm: 617).

PRINSIP-PRINSIP MENGKAJI AGAMA (2)

2. Memahami Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus shalih,

yakni para sahabat dan yang mengikuti mereka dari kalangan tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alayhi wa Sallam:

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian yang setelah mereka kemudian yang setelah mereka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Kebaikan yang berada pada mereka adalah kebaikan yang mencakup segala hal yang berkaitan dengan agama, baik ilmu, pemahaman, pengamalan dan dakwah.

Ibnul Qayyim berkata: “Nabi mengabarkan bahwa sebaik-baik generasi adalah generasinya secara mutlak. Itu berarti bahwa merekalah yang paling utama dalam segala pintu-pintu kebaikan. Kalau tidak demikian, yakni mereka baik dalam sebagian sisi saja maka mereka bukan sebaik-baik generasi secara mutlak.” (lihat Bashair Dzawis Syaraf: 62)

Dengan demikian, pemahaman mereka terhadap agama ini sudah dijamin oleh Nabi. Sehingga, kita tidak meragukannya lagi bahwa kebenaran itu pasti bersama mereka dan itu sangat wajar karena mereka adalah orang yang paling tahu setelah Nabi. Mereka menyaksikan di mana dan kapan turunnya wahyu dan mereka tahu di saat apa Nabi Shallallahu 'alayhi wa Sallam mengucapkan hadits. Keadaan yang semacam ini tentu sangat mendukung terhadap pemahaman agama. Oleh karenanya, para ulama mengatakan bahwa ketika para shahabat bersepakat terhadap sesuatu, kita tidak boleh menyelisihi mereka. Dan tatkala mereka berselisih, maka tidak boleh kita keluar dari perselisihan mereka. Artinya kita harus memilih salah satu dari pendapat mereka dan tidak boleh membuat pendapat baru di luar pendapat mereka.

Imam Syafi’i mengatakan: “Mereka (para shahabat) di atas kita dalam segala ilmu, ijtihad, wara’ (sikap hati-hati), akal dan pada perkara yang mendatangkan ilmu atau diambil darinya ilmu. Pendapat mereka lebih terpuji dan lebih utama buat kita dari pendapat kita sendiri -wallahu a’lam- … Demikian kami katakan. Jika mereka bersepakat, kami mengambil kesepakatan mereka. Jika seorang dari mereka memiliki sebuah pendapat yang tidak diselisihi yang lain maka kita mengambil pendapatnya dan jika mereka berbeda pendapat maka kami mengambil sebagian pendapat mereka. Kami tidak akan keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan.” (Al-Madkhal Ilas Sunan Al-Kubra: 110 dari Intishar li Ahlil Hadits: 78].

Begitu pula Muhammad bin Al Hasan mengatakan: “Ilmu itu empat macam, pertama apa yang terdapat dalam kitab Allah atau yang serupa dengannya, kedua apa yang terdapat dalam Sunnah Rasulullah atau yang semacamnya, ketiga apa yang disepakati oleh para shahabat Nabi atau yang serupa dengannya dan jika mereka berselisih padanya, kita tidak boleh keluar dari perselisihan mereka …, keempat apa yang diangap baik oleh para ahli fikih atau yang serupa dengannya. Ilmu itu tidak keluar dari empat macam ini.” (Intishar li Ahlil Hadits: 31)

Oleh karenanya Ibnu Taimiyyah berkata: “Setiap pendapat yang dikatakan hanya oleh seseorang yang hidup di masa ini dan tidak pernah dikatakan oleh seorangpun yang terdahulu, maka itu salah.” Imam Ahmad mengatakan: “Jangan sampai engkau mengeluarkan sebuah pendapat dalam sebuah masalah yang engkau tidak punya pendahulu padanya.” (Majmu’ Fatawa: 21/291)

Hal itu -wallahu a’lam- karena Nabi bersabda:

“Sesungguhnya Allah melindungi umatku untuk berkumpul di atas kesesatan.” (Hasan, HR Abu Dawud no:4253, Ibnu Majah:395, dan Ibnu Abi Ashim dari Ka’b bin Ashim no:82, 83 dihasankan oleh As Syaikh al Albani dalam Silsilah As- Shahihah:1331]

Jadi tidak mungkin dalam sebuah perkara agama yang diperselisihkan oleh mereka, semua pendapat adalah salah. Karena jika demikian berarti mereka telah berkumpul di atas kesalahan. Karenanya pasti kebenaran itu ada pada salah satu pendapat mereka, sehingga kita tidak boleh keluar dari pendapat mereka. Kalau kita keluar dari pendapat mereka, maka dipastikan salah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah di atas.

3. Tidak melakukan taqlid atau ta’ashshub (fanatik) madzhab.

Allah berfirman:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya).” (Al-A’raf: 3)

“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7)

Dengan jelas ayat di atas menganjurkan untuk mengikuti apa yang diturunkan Allah baik berupa Al Qur’an atau hadits. Maka ucapan siapapun yang tidak sesuai dengan keduanya berarti harus ditinggalkan. Imam Syafi’i mengatakan: “Kaum muslimin bersepakat bahwa siapapun yang telah jelas baginya Sunnah Nabi maka dia tidak boleh berpaling darinya kepada ucapan seseorang, siapapun dia.” (Sifat Shalat Nabi: 50)

Demikian pula kebenaran itu tidak terbatas pada pendapat salah satu dari Imam madzhab yang empat. Selain mereka, masih banyak ulama yang lain, baik yang sezaman atau yang lebih dulu dari mereka. Ibnu Taimiyah mengatakan:
“Sesungguhnya tidak seorangpun dari ahlussunnah mengatakan bahwa kesepakatan empat Imam itu adalah hujjah yang tidak mungkin salah. Dan tidak seorangpun dari mereka mengatakan bahwa kebenaran itu terbatas padanya dan bahwa yang keluar darinya berarti batil. Bahkan jika seorang yang bukan dari pengikut Imam-imam itu seperti Sufyan Ats Tsauri, Al Auza’i, Al Laits bin Sa’ad dan yang sebelum mereka atau Ahlul Ijtihadyang setelah mereka mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi pendapat Imam-imam itu, maka perselisihan mereka dikembalikan kepada Allah Ta'ala dan Rasul-Nya, dan pendapat yang paling kuat adalah yang berada di atas dalil.” (Minhajus Sunnah: 3/412 dari Al Iqna’: 95).

Sebaliknya, ta’ashshub (fanatik) pada madzhab akan menghalangi seseorang untuk sampai kepada kebenaran. Tak heran kalau sampai ada dari kalangan ulama madzhab mengatakan: “Setiap hadits yang menyelisihi madzhab kami maka itu mansukh (terhapus hukumnya) atau harus ditakwilkan (yakni diarahkan kepada makna yang lain).”

Akhirnya madzhablah yang menjadi ukuran kebenaran bukan ayat atau hadits. Bahkan ta’ashub semacam itu membuat kesan jelek terhadap agama Islam sehingga menghalangi masuk Islamnya seseorang sebagaimana terjadi di Tokyo ketika beberapa orang ingin masuk Islam dan ditunjukkan kepada orang-orang India maka mereka menyarankan untuk memilih madzhab Hanafi. Ketika datang kepada orang-orang Jawa atau Indonesia mereka menyarankan untuk memilih madzhab Syafi’i. Mendengar jawaban-jawaban itu mereka sangat keheranan dan bingung sehingga sempat menghambat dari jalan Islam [Lihat Muqaddimah Sifat Shalat Nabi hal: 68 edisi bahasa Arab)

PRINSIP-PRINSIP MENGKAJI AGAMA (1)

Penulis: Al-Ustadz Qomar Suaidi

Menuntut ilmu agama tidak cukup bermodal semangat saja. Harus tahu pula rambu-rambu yang telah digariskan syariat. Tujuannya agar tidak bingung menghadapi seruan dari banyak kelompok dakwah. Dan yang paling penting, tidak terjatuh kepada pemahaman yang menyimpang!

Dewasa ini banyak sekali ‘jalan’ yang ditawarkan untuk mempelajari dienul Islam. Masing-masing pihak sudah pasti mengklaim jalannya sebagai yang terbaik dan benar. Melalui berbagai cara mereka berusaha meraih pengikut sebanyak-banyaknya. Lihatlah sekeliling kita. Ada yang menawarkan jalan dengan memenej qalbunya, ada yang mengajak untuk ikut hura-huranya politik, ada yang menyeru umat untuk segera mendirikan Khilafah Islamiyah, ada pula yang berkelana dari daerah satu ke daerah lain mengajak manusia ramai-ramai ke masjid.

Namun lihat pula sekeliling kita. Kondisi umat Islam masih begini-begini saja. Kebodohan dan ketidakberdayaan masih menyelimuti. Bahkan sepertinya makin bertambah parah.

Adakah yang salah dari tindakan mereka? Ya, bila melihat kondisi umat yang semakin jatuh dalam kegelapan, sudah pasti ada yang salah. Mengapa mereka tidak mengajak umat untuk kembali mempelajari agamanya saja? Mengapa mereka justru menyibukkan umat dengan sesuatu yang berujung kesia-siaan?

Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai pewaris Nabi selalu berusaha mengamalkan apa yang diwasiatkan Rasulullah untuk mengajak umat kembali mempelajari agamanya. Dalam berbagai hal, Ahlussunnah tidak akan pernah keluar dari jalan yang telah digariskan oleh Nabi Shallallahu 'alayhi wa Sallam. Lebih-lebih dalam mengambil dan memahami agama di mana hal itu merupakan sesuatu yang sangat asasi pada kehidupan. Inilah yang sebenarnya sangat dibutuhkan umat.

Berikut kami akan menguraikan manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah dalam mengkaji agama, namun kami hanya akan menyebutkan hal-hal yang sangat pokok dan mendesak untuk diungkapkan. Tidak mungkin kita menyebut semuanya karena banyaknya sementara ruang yang ada terbatas.

Makna Manhaj

Manhaj dalam bahasa Arab adalah sebuah jalan terang yang ditempuh. Sebagaimana dalam firman Allah:

“Dan kami jadikan untuk masing-masing kalian syariat dan minhaj.” (Al-Maidah: 48)

Kata minhaj, sama dengan kata manhaj . Kata minhaj dalam ayat tersebut diterangkan oleh Imam ahli tafsir Ibnu Abbas, maknanya adalah sunnah. Sedang sunnah artinya jalan yang ditempuh dan sangat terang. Demikian pula Ibnu Katsir menjelaskan (lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/67-68 dan Mu’jamul Wasith).

Yang diinginkan dengan pembahasan ini adalah untuk menjelaskan jalan yang ditempuh Ahlussunnah dalam mendapatkan ilmu agama. Dengan jalan itulah, insya Allah kita akan selamat dari berbagai kesalahan atau kerancuan dalam mendapatkan ilmu agama. Inilah rambu-rambu yang harus dipegang dalam mencari ilmu agama:

1. Mengambil ilmu agama dari sumber aslinya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.

Allah Ta'ala berfirman:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan jangan kalian mengikuti para pimpinan selain-Nya. Sedikit sekali kalian mengambil pelajaran darinya.” (Al-A’raf: 3)

Dan Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa Sallam bersabda:
“Ketahuilah bahwasanya aku diberi Al Qur’an dan yang serupa dengannya bersamanya.” (Shahih, HR. Ahmad dan Abu Dawud dari Miqdam bin Ma’di Karib. Lihat Shahihul Jami’ N0. 2643)

MUTIARA NASEHAT SYAIKH IBNU BAZZ TERHADAP THOLIBUL ‘ILM (2)

Berkata sebagian Para Sahabat (Salafus Shalih), “Inti dari ilmu adalah takut kepada Allah”.

Berkata Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, “Cukuplah takut kepada Allah itu dikatakan sebagai ilmu dan cukuplah membangkang dari-Nya dikatakan sebagai kejahilan.”. Berkata sebagian salafus shalih : “Barangsiapa yang lebih mengenal Allah niscaya dia lebih takut kepada-Nya.” dan menunjukkan kebenaran makna ini sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Adapun aku, demi Allah, adalah orang yang lebih takut kepada Allah daripada kalian dan aku lebih bertakwa kepada-Nya daripada kalian.” Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Oleh karena itulah, kekuatan ilmu seorang hamba terhadap Allah
adalah merupakan sebab kesempurnaan takwa dan keikhlasannya, wuqufnya (berhentinya) dia dari batasan-batasan Allah dan kehati-hatiannya dari kemaksiatan.

Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling takut
kepada Allah dari hamba-hamba-Nya adalah ulama’” (QS Fathir : 28).
Maka ulama yang mengetahui Allah dan agama-Nya, mereka adalah
manusia yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya, serta mereka adalah orang yang paling mampu menegakkan agama-Nya.

Di atas mereka ada pemimpin-pemimpin mereka dari kalangan Rasul dan Nabi –alaihimush sholaatu was salaam- kemudian para pengikut mereka dengan lebih baik.

Nabi mengabarkan termasuk tanda-tanda kebahagiaan adalah
fahamnya seorang hamba akan agama Allah. Bersabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Barangsiapa dikehendaki Allah atasnya kebaikan niscaya ia akan difahamkan akan agamanya”, dikeluarkan di dalam shahihain dari hadits Mu’awiyah Rahiallahu ‘anhu.

Tidaklah hal yang demikian ini melainkan dikarenakan faham terhadap agama akan mendorong seorang hamba untuk menegakkan perintah Allah, untuk takut kepada-Nya dan memenuhi kewajiban-kewajiban-Nya, menghindari apa-apa yang membuat-Nya murka.
Faham terhadap agama akan membawanya kepada akhlak yang mulia, amal yang baik, dan sebagai nasehat kepada Allah dan hamba-hamba-Nya.

Aku memohon kepada Allah Azza wa jalla untuk menganugerahkan
kita, seluruh penuntut ilmu dan kaum muslimin seluruhnya, dengan
pemahaman di dalam agama-Nya dan istiqomah di atasnya. Semoga Allah melindungi kita dari seluruh keburukan jiwa-jiwa kita dan kejelekan amal-amal kita, sesungguhnya Allahlah pelindung dari hal ini dan Ia maha memiliki kemampuan atasnya. Semoga Shalawat dan Salam tercurahkan kepada hamba dan utusan-Nya, Nabi kita Muhammad, keluarganya dan sahabatnya.

MUTIARA NASEHAT SYAIKH IBNU BAZZ TERHADAP THOLIBUL ‘ILM (1)

Segala puji bagi Allah, Sholawat dan salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada rasul-Nya, Nabi kita Muhammad, keluarganya dan sahabatnya. Adapun setelah itu : Adalah tidak diragukan lagi, bahwasanya menuntut ilmu termasuk seutama-utama amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, termasuk sebab-sebab kesuksesan meraih surga dan kemuliaan bagi pelakunya.

Termasuk hal yang terpenting dari perkara-perkara yang penting adalah
mengikhlaskan diri dalam menuntut ilmu, menjadikan menuntutnya
karena Allah bukan karena selain-Nya. Dikarenakan yang demikian ini merupakan jalan yang bermanfaat baginya dan juga merupakan sebab diperolehnya kedudukan yang tinggi di dunia dan akhirat.

Dan sungguh telah datang sebuah hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam, bahwasanya beliau bersabda, “Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu dengan mengharap wajah Allah, tidaklah ia mempelajarinya melainkan untuk memperoleh harta dunia, dia takkan mendapatkan harumnya bau surga di hari kiamat.” Dikeluarkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang hasan. Dan dikeluarkan pula oleh Turmudzi dengan sanad yang di dalamnya ada kelemahan,

dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam beliau bersabda,
“Barangsiapa menuntut ilmu dengan maksud untuk membantah ulama, atau mengumpulkan orang-orang bodoh atau memalingkan wajah-wajah manusia kepada-Nya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam neraka.” Maka kunasehatkan kepada tiap-tiap penuntut ilmu dan kepada setiap muslim –yang mengetahui perkataan ini- untuk senantiasa mengikhlaskan segala macam amalan karena Allah, sebagaimana firman Allah : “barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia beramal sholih dan tidak mensekutukan Allah di dalam peribadatan sedikitpun.” (QS Al-Kahfi : 110).

Dan di dalam shohih Muslim dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau bersabda : “Allah Azza wa Jalla Berfirman, Aku tidak butuh kepada sekutu-sekutu dari kesyirikan, barangsiapa yang beramal suatu amalan yang mensekutukan-Ku dengan selain-Ku, kutinggalkan ia dengan sekutu-Nya.”

Aku wasiatkan pula kepada tiap tholibul ‘ilm dan tiap muslim
untuk takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan merasa segala
urusannya diawasi oleh-Nya, sebagai implementasi firman Allah,
“Sesungguhnya orang-orang yang takut dengan Rabb mereka yang
tidak nampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan
pahala yang besar.” (QS Al-Mulk : 12) dan firmannya, “Dan bagi orang-
orang yang takut dengan Tuhannya disediakan dua surga.” (QS ar-
Rahman : 46).

Kekayaan, Kesuksesan dan Cinta

Suatu ketika, ada seorang wanita yang kembali pulang ke rumah,dan ia melihat ada 3 orang pria berjanggut yang duduk di halaman depan. Wanita itu tidak mengenal mereka semua.

Wanita itu berkata:
“Aku tidak mengenal Anda, tapi aku yakin Anda semua pasti sedang lapar. Mari masuk ke dalam, aku pasti punya sesuatu untuk menganjal perut.”

Pria berjanggut itu lalu balik bertanya,
“Apakah suamimu sudah pulang?”

Wanita itu menjawab,
“Belum, dia sedang keluar.”

“Oh kalau begitu, kami tak ingin masuk.”
Kami akan menunggu sampai suami mu kembali, kata pria itu.

Di waktu senja, saat keluarga itu berkumpul, sang isteri menceritakan semua kejadian tadi.
Sang suami, awalnya bingung dengan kejadian ini, lalu ia berkata pada istrinya,
“Sampaikan pada mereka, aku telah kembali, dan mereka semua boleh masuk untuk menikmati makan malam ini.”

Wanita itu kemudian keluar dan mengundang mereka untuk masuk ke dalam.

“Maaf, kami semua tak bisa masuk bersama-sama” , kata pria itu hampir bersamaan.

“Lho, kenapa? tanya wanita itu karena merasa heran.”

Salah seorang pria itu berkata,
“Nama dia Kekayaan,” katanya sambil menunjuk seorang pria berjanggut di sebelahnya, dan sedangkan yang ini bernama Kesuksesan,” sambil memegang bahu pria berjanggut lainnya.”Sedangkan aku sendiri bernama Cinta. Sekarang, coba tanya kepada suamimu, siapa diantara kami yang boleh masuk ke rumahmu.”

Wanita itu kembali masuk kedalam, dan memberitahu pesan pria di luar.
Suaminya pun merasa heran.
“Ohho…menyenangkan sekali. Baiklah, kalau begitu, coba kamu ajak si Kekayaan masuk ke dalam. Aku ingin rumah ini penuh dengan Kekayaan.”

Istrinya tak setuju dengan pilihan itu.
Ia bertanya,
“sayangku, kenapa kita tak mengundang si Kesuksesan saja? Sebab sepertinya kita perlu dia untuk membantu keberhasilan panen gandum kita.”

Ternyata, anak mereka mendengarkan percakapan itu.
Ia pun ikut mengusulkan siapa yang akan masuk ke dalam rumah.
“Bukankah lebih baik jika kita mengajak si Cinta yang masuk ke dalam? Rumah kita ini akan nyaman dan penuh dengan kehangatan Cinta.”

Suami-istri itu setuju dengan pilihan buah hati mereka.

“Baiklah, ajak masuk si Cinta ini ke dalam.Dan malam ini, Si Cinta menjadi teman santap malam kita.”

Wanita itu kembali ke luar, dan bertanya kepada 3 pria itu.

“Siapa diantara Anda yang bernama Cinta? Ayo, silahkan masuk, Anda menjadi tamu kita malam ini.”
Si Cinta bangkit, dan berjalan menuju beranda rumah. Ohho..ternyata, kedua pria berjanggut lainnya pun ikut serta.

Karena merasa ganjil,
wanita itu bertanya kepada si Kekayaan dan si Kesuksesan.
“Aku hanya mengundang si Cinta yang masuk ke dalam, tapi kenapa kamu ikut juga?”

Kedua pria yang ditanya itu menjawab bersamaan.
“Kalau Anda mengundang si Kekayaan, atau si Kesuksesan, maka yang lainnya akan tinggal di luar. Namun, karena Anda mengundang si Cinta, maka, kemana pun Cinta pergi, kami akan ikut selalu bersamanya. Dimana ada Cinta, maka Kekayaan dan Kesuksesan juga akan ikut serta. Sebab, ketahuilah, sebenarnya kami buta. Dan hanya si Cinta yang bisa melihat. Hanya dia yang bisa menunjukkan kita pada jalan kebaikan, kepada jalan yang lurus. Dialah yang menjadi Inspirasi kami dalam kehidupan ini. Maka, kami butuh bimbingannya saat berjalan. Saat kami menjalani hidup ini”…

Kebahagiaan adalah Sebuah Ilusi

Lompat jauh adalah sejenis acara olahraga di mana seseorang atlet mencoba mendarat sejauh yang boleh dari tempat yg dituju.

Mereka yang bertanding akan berlari di laluan (pada tahap elit, biasanya mempunyai permukaan yang sama dengan trek larian) dan melompat sejauh yang boleh dengan memijak sepintas pada papan kayu ke bahagian yang diisi pasir atau tanah. Jarak minimum dari papan ke tanda yang dibuat oleh atlit pada pasir diukur. Jika seseorang itu memulakan lompatannya dengan mana-mana bahagian kakinya di depan atau melebihi papan (satu lapisan plastisin diletakkan dengan segera di depan papan untuk mengesan ketepatan ini), lompatannya diisytiharkan salah atau batal dan tiada jarak akan direkodkan.

Format sebenar pertandingan ini berbeza, tetapi secara amnya peserta akan mendapat beberapa kali cubaan untuk membuat lompatan dan hanya lompatan yang terpanjang akan dikira sebagai keputusan. Peserta dengan lompatan sah yang paling jauh pada akhir pertandingan akan dikira sebagai juara.

Kelajuan semasa berlari dan tinggi lonjakan merupakan kunci lompatan yang jauh. Oleh itu tidak hairanlah jika atlet lari pecut turut bertanding dan memenangi acara ini.

Lompat jauh telah dijadikan sebagai sebahagian daripada Sukan Olimpik.

Acara ini juga dicatat sebagai dua daripada rekod dunia yang paling lama berdiri dalam sebarang acara balapan dan padang. Pada 1935, Jesse Owens mencatatkan rekod dunia yang tidak dipecahkan sehingga 1960 oleh Ralph Boston.

Lompat jauh adalah salah satu daripada acara Olimpik pada Yunani Purba. Seseorang atlit akan memegang beban pada kedua-dua tangan yang dipanggil halteres. Beban ini akan dilayangkan ke hadapan seiring apabila atlet melompat untuk menambah momentum dan dibaling ke belakang apabila berada di udara untuk menolaknya ke hadapan. Paling dingati dalam acara purba adalah seorang lelaki dipanggil Chionis di mana pada Olimpik 656 SM mencatatkan lompatan sejauh 7 m 5 cm.

mari bersama mengembalikan kehidupan Islam.