Selasa, 07 April 2009

LENTERA

Lentera Mungil Penerang Hati
Kabut kelam terasa mengaburkan pandangan
Kelamnya mendung di hati terasa lebih menyesakkan
Perlahan tapi pasti menutupi nurani,
menafikan kebenaran, merasuk ke relung hati
Hingga akhirnya menutupi pintu hidayah yang penuh kesucian
Akhirnya lentera mungil itu datang menghampiri
Menyibakkan kelamnya mendung di hati manusia,
yang telah diselimuti tebalnya nafsu duniawi
Langkahnya pelan, namun nyalanya terang
Terkadang singgah sejenak ‘tuk mengisi kembali minyaknya
Entah sampai kapan lentera itu mampu bertahan
Di tengah kelamya awan hitam, di tengah angin malam
yang dingin menusuk tulang
Kucoba menghampiri nyala apinya
Semakin dekat kutemukan kehangatan disana,
kudapatkan senyuman tulusnya,
dan kurasakan betapa cerahnya cahaya Ilahi
I. Pengertian Dakwah Sya’bi
Dakwah adalah setiap usaha untuk mengajak kepada manusia membebaskan diri dari segala penghambaan kepada makhluk kemudian menyerahkan segala bentuk penghambaan hanya kepada Allah semata, Rabb semesta alam. Sya’bi dari kata Sya’bu-syu’uubu artinya kaum, bangsa, masyarakat umum dan awam1. Jadi dakwah Sya’bi adalah dakwah yang ditujukan kepada masyarakat umum yang bertujuan agar mendukung dan melaksanakan nilai-nilai Islam dalam kehidupan mereka, sehingga peran da’i Sya’bi yaitu mengajak masyarakat umum/awam untuk berislam secara paripurna (kaaffah). “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolonganyang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.”(QS ; Al-Mujaadilah ; 22).
Merekalah yang termasuk manusia minoritas dalam masyarakatnya namun teguh pendiriannya untuk senantiasa berusaha menjalankan kehidupan yang Islami ( model manusia Hizbullah). Dalam dakwahnya para da’i Sya’bi berdakwah kepada masyarakatnya yang terbagi menjadi dua model/tipe manusia.
1. Manusia awam
Komunitas masyarakat yang termasuk model manusia ini ibarat buih yang mudah terombang-ambing oleh berbagai macam paham atau gaya hidup, misalnya gaya hidup sekuler. Sama persis tatkala kondisi masyarakat Makkah sebelum nubuwah kenabian Rasulullah SAW. Suatu ketika Amr bin Luhay, pemimpin Bani Khuza’ah melancong ke Syam (negeri Palestina dan sekitarnya) kemudian di sana dia melihat penduduk Syam yang menyembah berhala dan menganggap hal itu sesuatu yang baik serta benar. Logika di dalam benak Amr bin Luhay membenarkan itu semua mengingat negeri Syam pada saat itu sebagai salah satu pusat peradaban yang maju di jazirah arab. Selain itu, Syam sebagai negeri kelahiran para nabi. Maka dia pulang sambil membawa Hubal dan meletakkannya di dalam Ka’bah. Setelah itu dia mengajak penduduk Makkah untuk membuat persekutuan terhadap Allah. Orang-orang Hijaz pun banyak yang mengikuti penduduk Makkah, karena mereka dianggap sebagai pengawas Ka’bah dan penduduk tanah suci. Kemudian mereka membuat Lata di Tha’if dan Uzza di Wady Nakhlah. Inilah tiga berhala yang paling besar. Begitulah kisah kemusyrikan dan penyembahan terhadap berhala, yang menjadi fenomena terbesar dari agama orang-orang Jahiliyah, yang menganggap dirinya berada pada agama Ibrahim.
Hal serupa dengan zaman yang berbeda terjadi saat ini. Episode yang sama dengan jam tayang yang berbeda sedang diputar sampai saat ini. Masyarakat awam sampai saat ini belum merasakan sejuknya hidup di bawah naungan sesungguhnya dari kehidupan Rasulullah SAW. Mereka mengira bahwa berbagai paham ataupun gaya hidup serba kebarat-baratan seolah-olah sebagai rujukan terbaik. Dari sekulerisme, feminisme, nasionalisme semu maupun isme-isme lainnya merebak di mana-mana sehingga telah menghempaskan kaum muslimin terbenam semakin dalam ke dalam kubangan jahiliah modern. Ditambah lagi, saat ini telah bermunculan Amr bin Luhay-Amr bin Luhay baru yang pernah melancong ke Amerika kemudian mendapati gaya hidup baru ala negeri barat, setelah pulang ke negerinya lalu dia taburi tanah kelahirannya dengan racun-racun yang mematikan hati itu. Dari hingar-bingar diskotik lengkap dengan artis pujaannya, vodka murahan yang memabukkan, sampai free sex yang memuakkan. Orientalis Syatulyn dalam bukunya Al- Gharaha Alal ‘Allamil Islami berkata, “ Gelas dan artis mampu menghancurkan umat Muhammad daripada seribu meriam. Maka tenggelamkan umat Muhammad ke dalam cinta materi dan syahwat “. Akhirnya episode imperialisme modern laris manis menggilas peradaban dunia timur.
Kini terbuktilah apa yang telah dikhawatirkan Rasulullah Saw. empat belas abad silam. Rasulullah Saw. bersabda, Dikhawatirkan bahwa berbagai bangsa akan memperebutkan kalian, sebagaimana orang-orang lapar memperebutkan makanan. Mendengar hal itu para sahabat bertanya, “Apakah karena kita sedikit, wahai Rasulullah?”, “Tidak, bahkan kalian waktu itu mayoritas, akan tetapi kalian adalah buih layaknya buih air bah. Allah akan mencabut rasa takut dari dada musuh kalian dan menimpakan wahn kepada
kalian, “jawab Rasulullah Saw. “Apakah wahn itu, wahai Rasulullah?” tanya para sahabat. Rasul menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Abu Daud).
2. Manusia Virus (Hizbusyaiton)
Pasca perang salib, para pemimpin eropa berpikir keras mencari cara yang paling tepat untuk menyerang dunia Islam. Mata penglihatan bangsa Eropa hingga detik ini tetap mengincar dengan rakus dunia Islam hingga memungkinkan mereka masuk ke dunia Islam dan berdomisili di dalamnya. Semangat mereka untuk mencapai target tersebut dimotivasi faktor politis, ekonomi dan religius.
Imperialisme modern banyak mengambil pelajaran dari perang salib. Pada perang salib, negara-negara eropa melihat kekuatan Islam sebagai penghalang yang sulit diatasi. Islam adalah roh yang membangkitkan kehidupan dan perasaan tanggung jawab terhadap kaum muslimin.
Tujuan utama imperialisme modern teringkas dalam point-point berikut:
1. Menaklukkan Islam yang merupakan kekuatan penyeru pembebasan dan perlawanan melawan musuh.
2. Menghancurkan khilafah yang merupakan simbol tempat kaum muslimin bersatu guna membela Islam.
3. Membuka lahan baru untuk memasarkan hasil industri yang meledak pasca kebangkitan industri.
4. Memperluas jangkauan negara imperialis.
5. Mengambil aset negara jajahan.
6. Memanfaatkan potensi rakyat negara jajahan untuk kepentingan negara-negara imperialis.
Keinginan menguasai dunia Islam tidak pernah hilang dari memori bangsa Eropa. Pemikiran untuk bisa menembus dunia Islam menjadi perhatian khusus para pemimpin Eropa.
Mereka itulah model manusia Virus (Hizbusyaiton) yang selalu siap siaga menebarkan virus-virus keangkuhan seantero jagad sebagaimana kufurnya para ahlul kitab dahulu terhadap ajaran Rasulullah Saw.
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS ; Al-Maa’idah ; 67).
II. Urgensi Dakwah Sya’bi
Berikut ini akan dipaparkan mengenai tiga arti penting dakwah sya’bi :
1. Ri’ayah mashalih ijtima’iyah (memelihara kepentingan publik)
Umar bin Khattab selalu memberikan advokasi kepada orang-orang yang lemah untuk mendapatkan keadilan hukum dari faktor kekuatan politik dan hukum. Ketika salah seorang putra Gubernur Mesir Amr bin Ash menampar seorang penunggang kuda yang tidak sengaja telah menyenggol kudanya. Orang itu mengadukan hal tersebut kepada Umar bin Khattab r.a. Kemudian, Umar segera memanggil putra Amr bin Ash. Kemudian memperingatkan perlakuan kasar tersebut seraya berkata, “Mataa ista’badtannaas waqad waladathum ummahaatuhum ahraaran. Artinya, Sejak kapan engkau memperbudak manusia sedangkan mereka dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merdeka.”
Dari gambaran kisah di atas, dapat disimpulkan bahwa kewenangan politik dapat memberikan keputusan yang berpihak kepada masyarakat dan membela rasa keadilan mereka di depan hukum sehingga kepentingan publik mampu terakomodasi dengan baik. Seseorang yang telah memperoleh kewenangan politik baik di tingkat legislatif, eksekutif maupun yudikatif, sepanjang ia selalu berusaha melahirkan kebijakan publik yang berguna bagi kemaslahatan dan cita rasa keadilan, maka ketokohan dirinya akan mendapatkan respon luas dari masyarakatnya, sehingga rakyat semakin segan, simpatik dan memberikan dukungan moral kepadanya. Disinilah peran seorang kader untuk mampu memberikan kontibusi bagi kemajuan masyarakatnya sebagai wujud tanggung jawab seorang pemimpin terhadap kaumnya.
5
Seorang da’i (kader dakwah) secara alamiah adalah sebagai pemimpin bagi kaumnya. “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang–orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat–ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al – Kitab dan Al–Hikmah . Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan nabi) itu, mereka adalah benar – benar dalam kesessatan yang nyata.”(QS ; Ali–Imron ; 164). Sehingga suatu ketika bila masyarakat membutuhkan penyaluran dana APBD, kitalah agennya. Apabila masyarakat kesulitan mencari guru ngaji atau penceramah, kitalah orangnya. Apabila ibu-ibu PKK kehabisan akal untuk memajukan organisasinya, POSWEKA-lah yang semestinya pro-aktif memajukannya. Semuanya itu bertujuan untuk menciptakan bi’ah (lingkungan) yang senantiasa terbingkai dengan nilai-nilai keislaman.
2.Fi Siyaghatu al-bina al-ijtima’I (membentuk bangunan sosial)
Dalam kehidupan bermasyarakat, terdapat beberapa segmentasi aktivitas sosial. Aktivitas warga masyarakat cenderung mengikuti dua golongan aktivitis di masyarakat.
Pertama ; aktivis kampung. Orang-orang yang termasuk golongan ini terdiri atas pengurus-pengurus kampung yang memiliki cita-cita untuk memajukan kampungnya. Sebuah cita-cita yang mulia tentunya. Namun, kadangkala kita menjumpai aktivitas mereka hanyalah sekedar untuk memenuhi prinsip muamalah saja. Dalam kaidah syar’i-nya aktivitas muamalah tolok ukurnya adalah nilai kemaslahatan/segi kemanfaatannya. Sehingga dalam hal ini segala macam aktivitas kemasyarakatan yang dinilai adalah aspek kemanfaatan bagi warganya. Bahkan acara pengajian kampungpun kadangkala motivasi utamanya supaya bisa berbaur dengan tetangganya. Bagi masyarakat tradisional Mereka berprinsip “pokoke urip kuwi apik karo tonggone” (hidup itu rukun bersama tetangga).
Suatu ketika di Pojok ada acara resepsi pernikahan. Kebetulan acara resepsi berada di sebelah timur masjid berseberangan dengan jalan kampung. Pada saat acara berlangsung jam menunjukkan pukul dua belas siang kurang beberapa menit, pertanda sudah masuk waktu sholat dhuhur. Pada saat itu, 6
acara resepsi pernikahan baru saja dimulai. Tanpa berpikir panjang saya langsung menghampiri pembawa acara dan penjaga sound system supaya memberikan jeda acara untuk mengumandangkan adzan. Meskipun banyak orang yang nggak sholat karena mungkin dibenak mereka beranggapan bahwa sholat disaat acara resepsi adalah perkara yang nggak umum/nggak lumrah (tidak maslahat), namun saya dan takmir dan beberapa orang akhirnya menjalankan sholat jamaah dhuhur juga. Padahal, untuk perkara sholat maupun ibadah-ibadah mahdah lainnya tolok ukurnya bukanlah kemaslahatan, melainkan asasnya adalah ketaatan kepada Allah dan ittiba’ kepada Rasulullah Saw. Bayangkan jika pada saat itu semua orang ikut acara resepsi tanpa ada salah seorang atau beberapa orang yang meluangkan waktu sejenak untuk sholat di masjid, tentunya kita akan merenungkan kembali makna dari sebuah hadist. Rasulullah Saw. bersabda, “Jika ada tiga orang di salah satu desa, atau kampung namun tidak mengadakan shalat jama’ah maka syetan berkuasa atas mereka. Oleh karena itu, hendaklah kalian selalu berjama’ah, karena serigala itu memekan kambing yang jauh (terpisah dari kelompoknya).” (Diriwayatkan Ahmad, Abu Daud, An-Nasai, dan Al-Hakim.)
Hal serupa terjadi di masa arab jahiliyah dahulu. Meskipun masyarakat arab pada saat itu diselimuti dengan kehidupan yang penuh dengan kesyirikan dan kemunkaran, namun benih-benih akhlak kebaikan masih ada pada saat itu. Misalnya, sifat kedermawanan. Mereka saling berlomba-lomba dan membanggakan diri dalam masalah kedermawanan dan kemurahan hati. Adakalanya seseorang didatangi tamu yang kelaparan pada saat hawa dingin menggigit tulang. Sementara saat itu dia tidak memiliki kekayaan apapun selain seekor onta yang menjadi penopang hidupnya. Namun, rasa kedermawanan bisa menggetarkan dirinya, lalu dia pun bangkit menghampiri onta satu-satunya dan menyembelihnya, agar ia bisa menjamu tamunya. Diantara pengaruh kedermawanan ini, mereka biasa merasa bangga karena minum khamr dan berjudi. Mereka menganggap Kedua aktivitas tersebut merupakan salah satu cara untuk mengekspresikan kedermawanan, karena dari laba judi itulah mereka bisa memberi makan orang-orang miskin, atau mereka bisa menyisihkan sebagian uang dari andil orang-orang yang mendapat laba. Oleh karena itu Al-Qur’an tidak mengingkari manfaat khamr 7
dan main judi, namun dengan membuat redaksi sebagai berikut, “Tetapi dosa Keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (Al-Baqarah : 219). Hal ini berawal dari paradigma umum masyarakat yang menganggap bahwa “hidup itu pokoke apik karo tonggone” (Hidup rukun dengan tetangga), tanpa dilandasi asas ketaatan kepada Allah dan ittiba’ kepada Rasulullah Saw.
Untuk itulah Allah SWT mengutus Rasulullah Saw yang memiliki misi utama menyampaikan risalah dan menyempurnakan akhlak manusia. Apabila kita kaitkan dengan segmentasi kehidupan sosial masyarakat maka kalangan Kedua inilah yang dikenal sebagai aktivis masjid.
Kedua ; aktivis masjid. Dalam segmentasi kehidupan sosial, komunitas ini termasuk minim dari segi kuantitas, namun memiliki kualitas dan peran yang dominan di masyarakat. Komunitas inilah yang mengemban misi iqomatu dinnullah (menegakkan agama Allah) di muka bumi ini. Merekalah pewaris para nabi, yang mengemban misi kenabian untuk menyempurnakan akhlak manusia. “innamaa bu’itstu liutammima sholikhal akhlaq”(sesungguhnya aku diutus tidak lain hanyalah untuk menyempurnakan akhlak). HR. Baihaqi dari Abu Hurairah.
Dari ungkapan hadits di atas dapat kita gali nilai-nilai tarbawiyah yaitu : “Sesungguhnya aku diutus tidak lain hanyalah untuk…” Kata “innama” secara bahasa memiliki makna pembatasan menurut sebagian ulama. Hal ini berarti misi Nabi Muhammad saw. tidak lain hanyalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak. Tetapi akhlak yang dimaksudkan disini tidak lain adalah agama Islam itu sendiri. Sebagaimana sabda beliau, “Agama Islam itu adalah kebaikan akhlak.” Islam berisi penjelasan dan aturan mengenai akhlak kepada Allah, akhlak kepada para nabi, akhlak kepada sesama manusia, akhlak kepada diri kita sendiri, dan akhlak kepada lingkungan sekitar kita. Kemudian arti dari “…Untuk menyempurnakan akhlak.” Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa masih ada serpihan-serpihan akhlak yang mulia dalam diri setiap manusia, betapapun jahatnya manusia tersebut. Seringkali kita mendapati sifat yang baik pada diri para penjahat seperti ; keberanian, kedermawanan, kesetiakawanan, kasih sayang, pengorbanan dan sifat-sifat kebaikan lainnya. Hanya saja sifat-sifat mulia ini kadangkala ditempatkan pada tempat yang tidak semestinya, dan didorong oleh tendensi atau motivasi tertentu yang
bukan motivasi keimanan, sehingga perlu diluruskan dan disempurnakan. Inilah tugas Rasul saw. dan tugas kita, pewarisnya. Sehingga tugas dari seorang da’i sya’bi adalah berusaha untuk membentuk bangunan kehidupan sosial sebagaimana dituntunkan oleh Rasulullah Saw.
3. Halul Qadhaya Al- Ijtima’I (memberi solusi atas problematika di masyarakat)
Dalam kehidupannya di masyarakat, para da’i sudah selayaknya dengan penuh “legowo” senantiasa mencurahkan segenap tenaga, pikiran, bahkan hartanya bagi kemajuan kaumnya. Hal ini cukup beralasan mengingat antara kita dengan masyarakat ada dua hak yang musti ditunaikan oleh seorang da’i kepada masyarakatnya yaitu hak “berukhuwah” dan hak “berdakwah”. Apabila antara sesama ikhwah kita hanya berhak menunaikan hak ukhuwah saja, namun dengan masyarakatnya para da’i dituntut untuk memenuhi juga hak dakwah kepada masyarakatnya.
Terkadang disaat-saat tenaga kita sudah “low bat” (terkuras) untuk aktivitas keseharian yang padat, justru saat itu mereka membutuhkan tenaga kita untuk mengatasi problematika ataupun keinginan masyarakat untuk mendapatkan hak ukhuwah dan hak dakwah tersebut dari kita. Misalnya, kita musti hadir ronda atau mensegerakan perawatan jenazah bila ada “sripah” di kampung. Namun, sudah selayaknya seorang da’i tidak mengeluh akan tuntutan tersebut karena kesibukan tersebut adalah ladang amal bagi kita. Cobalah kita membuka lembaran sejarah para sahabat terdahulu, misalnya keteladanan dari seorang Abu bakar. Beliau sering didatangi oleh tokoh-tokoh kaumnya untuk dimintai pendapat mengenai banyak hal. Inilah saat dimana sorang da’i dituntut sebagai pemberi solusi bagi masyarakatnya.
Apabila kita kaitkan dengan aktifitas dakwah kita misalnya pada saat musyawarah warga atau musyawarah takmir apa yang seharusnya kita lakukan dalam forum tersebut?
Pertama ; Kita musti memahami permasalahan warga secara global. Kemampuan ini dapat dimiliki oleh seorang da’i jika da’i yang bersangkutan telah mengenal medan dakwah (ma’rifatul maidani) sekaligus berinteraksi dengan medan dakwah (tafa’ul maidani) secara intensif. Dari sinilah seorang da’i dapat menilai suatu permasalahan umatnya dari berbagai macam sudut pandang. Kenapa bisa demikian?.., karena pengetahuan yang dimiliki da’i tersebut telah berubah menjadi sebuah pengalaman. Pengalaman ini diperoleh dari amal yang telah berlangsung sekian lama. Imam Al-Ghazali mengatakan, “ketika ilmu pengetahuan telah menjadi pengalaman maka disana akan bertautan antara aspek akal, emosi, cita rasa dan aspek spiritual”. Kemudian orang-orang psikologi menyebutnya dengan istilah “ESQ”. Tak heran ketika ustadz dari DPP menyempatkan berkunjung ke yogya, kita tersugesti untuk menyempatkan hadir dalam acara temu kader dengan beliau. Perasaan ini muncul karena sama-sama kita tau bahwa ilmu pengetahuan beliau telah berubah menjadi pengalaman dakwah yang berharga.
Kedua ; Selanjutnya dari point pertama diatas akan memberikan bekal bagi kita untuk “memberi solusi” atas permasalahan yang ada pada acara pertemuan tersebut. Sehingga disini seorang da”i hendaknya telah membawa solusi dari rumah untuk disampaikan ke dalam forum. Jangan sampai seorang da’i hadir di pertemuan warga dengan menyampaikan segudang permasalahan tanpa punya solusi, perilaku ini akan menjadikan blunder bagi kita karena membuat jalannya musyawarah menjadi buntu tanpa ada penyelesaian. Seharusnya seorang da’i adalah sebagai pusat rujukan bagi umatnya sehingga perlu kearifan dalam menyampaikan suatu permasalahan dan bijaksana dalam memberikan solusi. Bagi seorang da’i (baca; kader) yang tidak mengetahui permasalahan masyarakatnya (umatnya), maka tidak termasuk dalam pembahasan ini, karena kader tersebut belum bisa disebut sebagai seorang da’i. Hakikat seorang da’i adalah bahwa secara psikologis dirinya memiliki keinginan untuk merubah masyarakatnya menjadi lebih baik dengan atau tanpa intruksi dari struktur jamaah. Disinilah seorang da’i mampu berdakwah dengan penuh kesenangan karena dalam dakwahnya selalu melibatkan aspek emosi dalam hatinya.
III. Berdakwah dengan roja’ dan khouf
1. Roja’ dan Khouf Dari Segi Obyek Dakwah
Beberapa waktu yang lalu di Pojok diadakan kajian rutin malam jumat kliwon dengan tema “Dahsyatnya sakaratul maut”. Dalam acara tersebu sekaligus dilangsungkan praktek perawatan jenazah oleh ust. Wartono. Acara tersebut bermula dari keinginan bapak takmir masjid untuk menggelar praktek perawatan jenazah di pojok. Sebelumnya beliau telah mengikuti training perawatan jenazah yang telah diadakan oleh DPRa PKS Sinduadi. Mengenai konsep acara saya yang merancang seluruhnya. Dalam acara itu sengaja saya tampilkan video mengenai kondisi manusia ketika menghadapi sakaratul maut dan ketika berada di alam kubur. Ide ini terinspirasi dari kondisi terkini kampung pojok yang hanya dalam jangka waktu satu bulan terdapat lima warga pojok yang meninggal dunia. Hasilnya, keesokan harinya ada tetangga yang ketika akan tidur tidak berani mematikan lampunya bahkan sekedar mengurangi lampu yang hidup pun mereka enggan dengan alasan takut kalau-kalau ada pocongan yang nongol. Hari-hari berikutnya, alhamdulillah jamaah maghrib di masjid Al-Ilma pojok mengalami peningkatan.
Dari cerita diatas menunjukkan adanya proses “perjalanan hidayah” yang sedang berlangsung. Dalam tafsir al-Qurtubi para ulama membagi hidayah menjadi beberapa macam. Dalam kasus diatas ada dua proses perjalanan hidayah menurut para ulama.
Pertama ; Hidayatud Dien
Hidayud dien akan membimbing akal manusia, sehingga mampu membedakan antara suatu perkara yang haq maupun perkara yang dinilai batil. Dari kasus di atas terdapat ketakutan (khouf) dari beberapa warga akan datangnya maut setelah mereka menyaksikan video dan kajian tentang sakaratul maut. Mereka pada saat itu tau betapa dahsyatnya peristiwa sakaratul maut tersebut. Namun, perasaan ini tidak akan betahan lama. Perasaan takut (khouf) akan hilang dengan sendirinya ketika mereka disibukkan kembali dengan aktivitas maupun segala macam kesenangan duniawi yang mampu menjadi penghalang meresapnya hidayah sampai ke hati. Hati ibarat makhluk yang bernama ikan, ikan habitatnya ada di air. Apabila ikan ke luar dari habitatnya (daratan) maka ikan akan bolak-balik dan akhirnya terdiam (mati). Demikian pula dengan hati, habitat hati adalah tempat ataupun suasana yang memiliki nuansa ukhrawi misalnya ; masjid, mendengarkan tilawah dsbnya. Apabila hati telah keluar dari tempat maupun aktifitas ukhrawi maka hati tersebut akan bolak-balik dan bila dibiarkan maka akhirnya akan mati. Matinya
11
hati akan membuat susahnya menerima hidayah. Sehingga kita dituntunkan sebuah do’a untuk meneguhkan iman di hati kita ; “yaamuqollibal quluubi tsabit qolbii ‘aladiinika”; “Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agamaMu” (H.R. Tirmidzi dan Ahmad). Disinilah perlunya metodologi dakwah untuk meneruskan ke jenjang hidayah yang mampu meresapkan hidayah ke lubuk hati yang terdalam. Maka hidayah selanjutnya yaitu hidayatut taufiq.
Kedua ; Hidayatut Taufiq
Hidayatut taufiq apabila telah tertanam dalam hati seseorang maka akan menjadikan orang tersebut mampu menakar segala macam aktivitasnya dalam pandangan agama. Selain itu, segala macam aktivitas ibadahnya bermula dari kesadaran individu. Saat inilah perlu dimunculkan perasaan harapan (roja’) akan segala macam keutamaan (fadhilah) beribadah kepada Allah dengan imbalan yang tidak ternilai yaitu surga. Kata kunci untuk mendapatkan hidayatut Taufiq adalah “kesungguhan” (mujahadah) dalam menjalani segala macam aktivitas ibadah. Dalam salah satu ayat disebutkan ;
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S ; Al-Ankabut ; 69)
Sehingga metodologi dakwah selanjutnya yaitu dengan memberikan santapan rutin bagi ruhaniyah obyek dakwah kita. Di Pojok telah berlangsung kajian kitab tentang fadhilah berdzikir yang sesuai dengan tuntutan Rasulullah Saw. Kajian kitab ini rutin setiap hari jumat ba’da sholat Isya’ bersama Ust. Ishak. Metode ini bisa juga diterapkan di wilayah lain.
2. Roja’ dan Khouf Dari segi Jamaah Dakwah
Bulan Maret kemarin saya ditunjuk DPC Mlati untuk mengikuti Dauroh Dakwah Sya’bi yang diadakan oleh DPW. Acara tersebut berlangsung di Gedung Depsos DIY di Jalan Veteran Yogyakarta. Acara demi acara saya ikuti dengan seksama. Tiap sesi diisi oleh ustadz-ustadz sya’bi yang sudah kondang. Antara lain ustadz Sumedi dari DPD Gunung Kidul, ustadz Nandar Winoro dari Sleman serta ustadz sya’bi yang sudah teruji jam terbangnya yaitu ustadz Didik Purwodarsono. Sementara itu, ada satu sesi tambahan yang diisi oleh pengurus Deputi dakwah DPW. Mereka memaparkan tentang pemetaan dakwah di beberapa wilayah di DIY termasuk disinggung tentang kondisi dakwah masjid di daerah Sinduadi yang notabene sebagai basisnya kader-kader dakwah kampus. Deputi dakwah DPW menilai bahwa masjid di lingkungan Sinduadi kebanyakan telah dikuasai oleh harakah lain di luar harakah Tarbiyah. Bagi saya, pernyataan dari Deputi dakwah DPW tersebut cenderung emosional meskipun didasarkan oleh fakta empiris yang akurat. Mengapa ?…., mari kita coba menganalisis dari sisi rekayasa dakwah sya’bi.
Pertama ; Kecenderungan harakah lain untuk berdakwah kepada masyarakat apalagi keinginan untuk memakmurkan masjid bukanlah suatu kesalahan melainkan justru sebagai kemajuan dakwah. Justru jamaah kita musti dikoreksi apabila porsi dakwah di masjid telah tertutupi oleh gencarnya dakwah politik (siyasi). Inilah yang kita sebut sebagai ketakutan (khouf) bagi jamaah. Ditambah lagi adanya catatan mengenai fenomena keengganan kader untuk membina, mengindikasikan adanya kelemahan tarbawiyah disebagian kader kita. Selain itu, sebenarnya harakah lain juga sedang melakukan misi mulia, sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut ini ;
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(Q.S ; At-Taubah ; 71)
Kedua ; Kemungkinan ada ketakutan (khouf) yang berlebihan bagi kita bahwa kelak dalam pemilu 2009 jumlah suara PKS di wilayah siduadi mengalami penurunan gara-gara masjid-masjid sudah dimakmurkan oleh harakah lain. Apakah demikian?…
Marilah kita cermati dari fakta empiris di pemilu 2004. Saat itu suara PKS di wilayah Sinduadi menduduki perolehan terbesar kedua setelah Golkar. Artinya, bahwa pemilu yang lampau sudah ada hasil yang positif. Hasil ini relatif akan bertahan dan cenderung mengalami pertambahan karena pasokan suara PKS selama ini dominan di wilayah sinduadi timur (daerah Pogung) yang nota bene adalah masyarakat terdidik. Selain itu, nggak bakalan ketua RT, RW atau orang-orang di Pogung nggak mau ikut jadi panitia KPPS atau ikut-ikutan membid’ahkan partai gara-gara sering ikutan kajian Salafy di masjidnya. Sulit rasanya bagi ibu-ibu PKK untuk tidak menyempatkan ke TPS kelak gara-gara PAUD (Pembimbingan anak usia dini) di daerah Pogung yang seharusnya ditangani POSWEKA justru keduluan umahat-umahat Hizbut Tahrir. Justru strategi kita (DPRa Sinduadi) seharusnya lebih mengarah ke wilayah tengah dan barat yang masih dimerahkan dan dikuningkan oleh partai status quo. Langkah ini sudah ditempuh oleh DPRa Sinduadi dan POSWEKA yang melakukan rekrutmen di dusun-dusun di wilayah sinduadi (Kutu Raden, Gedongan, Pojok). Langkah ini sesuai dengan kaidah dalam dakwah sya’bi bahwa rekrutmen sya’bi lebih optimal dilakukan di tiap-tiap dusun. Bahkan di Pojok ketika acara Launching POSWEKA hampir dipadati oleh ibu-ibu satu RW. Apabila kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh DPRa maupun POSWEKA berada di luar dusun masyarakat setempat pasti akan menemui kendala-kendala teknis. Misalnya ; wah.., aku ra ono boncengane, atau kadohan ra reti nggone (Kata ; beberapa warga). Disini menunjukkan adanya harapan (Roja’) bagi dakwah kita kedepan khususnya menjelang pemilu 2009 yang tinggal hitungan bulan.
Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

mari bersama mengembalikan kehidupan Islam.