Jumat, 25 Desember 2009

Kutitip Surat Ini Untukmu I

Assalamu’alaikum,
Segala puji Ibu panjatkan kehadirat Allah ta’ala yang telah
memudahkan Ibu untuk beribadah kepada-Nya. Shalawat serta
salam Ibu sampaikan kepada Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam, keluarga dan para sahabatnya. Amin…

Wahai anakku,
Surat ini datang dari Ibumu yang selalu dirundung sengsara…
Setelah berpikir panjang Ibu mencoba untuk menulis dan
menggoreskan pena, sekalipun keraguan dan rasa malu
menyelimuti diri. Setiap kali menulis, setiap kali itu pula
gores tulisan terhalang oleh tangis, dan setiap kali
menitikkan air mata setiap itu pula hati terluka…

Wahai anakku!
Sepanjang masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau
telah menjadi laki-laki dewasa, laki-laki yang cerdas
dan bijak! Karenanya engkau pantas membaca tulisan ini,
sekalipun nantinya engkau remas kertas ini lalu engkau
merobeknya, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hati
dan telah engkau robek pula perasaanku.

Wahai anakku…
25 tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahun
kebahagiaan dalam kehidupanku.Suatu ketika dokter datang
menyampaikan kabar tentang kehamilanku dan semua ibu sangat
mengetahui arti kalimat tersebut. Bercampur rasa gembira
dan bahagia dalam diri ini sebagaimana ia adalah awal mula
dari perubahan fisik dan emosi…

Semenjak kabar gembira tersebut aku membawamu 9 bulan.
Tidur, berdiri, makan dan bernafas dalam kesulitan.
Akan tetapi itu semua tidak mengurangi cinta dan kasih
sayangku kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama berjalannya
waktu.

Aku mengandungmu, wahai anakku! Pada kondisi lemah di atas
lemah, bersamaan dengan itu aku begitu gembira tatkala
merasakan melihat terjangan kakimu dan balikan
badanmu di perutku. Aku merasa puas setiap aku menimbang
diriku, karena semakin hari semakin bertambah berat
perutku, berarti engkau sehat wal afiat dalam rahimku.

Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, sampailah saat
itu, ketika fajar pada malam itu, yang aku tidak dapat tidur
dan memejamkan mataku barang sekejap pun. Aku merasakan
sakit yang tidak tertahankan dan rasa takut yang tidak bisa
dilukiskan. Sakit itu terus berlanjut sehingga membuatku
tidak dapat lagi menangis.

Sebanyak itu pula aku melihat kematian menari-nari di
pelupuk mataku, hingga tibalah waktunya engkau keluar
ke dunia. Engkau pun lahir… Tangisku bercampur dengan
tangismu, air mata kebahagiaan. Dengan semua itu, sirna
semua keletihan dan kesedihan, hilang semua sakit dan
penderitaan, bahkan kasihku padamu semakin bertambah
dengan bertambah kuatnya sakit. Aku raih dirimu sebelum
aku meraih minuman, aku peluk cium dirimu sebelum meneguk
satu tetes air ke kerongkonganku.

Wahai anakku…
telah berlalu tahun dari usiamu, aku membawamu dengan
hatiku dan memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku.
Saripati hidupku kuberikan kepadamu. Aku tidak tidur demi
tidurmu, berletih demi kebahagiaanmu.

Harapanku pada setiap harinya, agar aku melihat senyumanmu.
Kebahagiaanku setiap saat adalah celotehmu dalam meminta
sesuatu, agar aku berbuat sesuatu untukmu…itulah
kebahagiaanku!

Kemudian, berlalulah waktu. Hari berganti hari, bulan
berganti bulan dan tahun berganti tahun. Selama itu pula
aku setia menjadi pelayanmu yang tidak pernah lalai,
menjadi dayangmu yang tidak pernah berhenti, dan
menjadi pekerjamu yang tidak pernah mengenal lelah serta
mendo’akan selalu kebaikan dan taufiq untukmu.

Aku selalu memperhatikan dirimu hari demi hari hingga
engkau menjadi dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu
yang kekar, kumis dan jambang tipis yang telah menghiasi
wajahmu, telah menambah ketampananmu. Tatkala itu aku mulai
melirik ke kiri dan ke kanan demi mencari pasangan hidupmu.
Semakin dekat hari perkawinanmu, semakin dekat pula hari
kepergianmu. saat itu pula hatiku mulai serasa teriris-iris,
air mataku mengalir, entah apa rasanya hati ini. Bahagia
telah bercampur dengan duka, tangis telah bercampur pula
dengan tawa. Bahagia karena engkau mendapatkan pasangan
dan sedih karena engkau pelipur hatiku akan berpisah
denganku.

Waktu berlalu seakan-akan aku menyeretnya dengan berat.
Kiranya setelah perkawinan itu aku tidak lagi mengenal
dirimu, senyummu yang selama ini menjadi pelipur duka dan
kesedihan, sekarang telah sirna bagaikan matahari yang
ditutupi oleh kegelapan malam. Tawamu yang selama ini
kujadikan buluh perindu,sekarang telah tenggelam seperti
batu yang dijatuhkan ke dalam kolam yang hening, dengan
dedaunan yang berguguran. Aku benar-benar tidak mengenalmu
lagi karena engkau telah melupakanku dan melupakan hakku.

Terasa lama hari-hari yang kulewati hanya untuk ingin
melihat rupamu.Detik demi detik kuhitung demi
mendengarkan suaramu. Akan tetapi penantian kurasakan
sangat panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk
melihat dan menanti kedatanganmu. Setiap kali berderit
pintu aku manyangka bahwa engkaulah orang yang datang itu.
Setiap kali telepon berdering aku merasa bahwa engkaulah
yang menelepon. Setiap suara kendaraan yang lewat aku
merasa bahwa engkaulah yang datang.Akan tetapi, semua itu
tidak ada.Penantianku sia-sia dan harapanku hancur
berkeping, yang ada hanya keputusasaan. Yang tersisa
hanyalah kesedihan dari semua keletihan yang
selama ini kurasakan. Sambil menangisi diri dan nasib
yang memang telah ditakdirkan oleh-Nya.

Anakku… ibumu ini tidaklah meminta banyak, dan tidaklah
menagih kepadamu yang bukan-bukan. Yang Ibu pinta, jadikan
ibumu sebagai sahabat dalam kehidupanmu. Jadikanlah ibumu
yang malang ini sebagai pembantu di rumahmu, agar bisa juga
aku menatap wajahmu, agar Ibu teringat pula dengan hari-hari
bahagia masa kecilmu.

Dan Ibu memohon kepadamu, Nak! Janganlah engkau memasang
jerat permusuhan denganku, jangan engkau buang wajahmu
ketika Ibu hendak memandang wajahmu!!

Yang Ibu tagih kepadamu, jadikanlah rumah ibumu, salah satu
tempat persinggahanmu, agar engkau dapat sekali-kali
singgah ke sana sekalipun hanya satu detik. Jangan jadikan
ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah engkau kunjungi,
atau sekiranya terpaksa engkau datangi sambil engkau tutup
hidungmu dan engkaupun berlalu pergi.

Anakku, telah bungkuk pula punggungku. Bergemetar tanganku,
karena badanku telah dimakan oleh usia dan digerogoti oleh
penyakit… Berdiri seharusnya dipapah, dudukpun
seharusnya dibopong, sekalipun begitu cintaku kepadamu
masih seperti dulu…

Masih seperti lautan yang tidak pernah kering. Masih seperti
angin yang tidak pernah berhenti. Sekiranya engakau
dimuliakan satu hari saja oleh seseorang, niscaya engkau
akan balas kebaikannya dengan kebaikan setimpal. Sedangkan
kepada ibumu… Mana balas budimu, nak!?

Mana balasan baikmu! Bukankah air susu seharusnya dibalas
dengan air susu serupa?! Akan tetapi kenapa nak! Susu yang
Ibu berikan engkau balas dengan tuba. Bukankah Allah ta’ala
telah berfirman, “Bukankah balasan kebaikan kecuali dengan
kebaikan pula?!” (QS. Ar Rahman: 60) Sampai begitu keraskah
hatimu, dan sudah begitu jauhkah dirimu?! Setelah
berlalunya hari dan berselangnya waktu?!

Wahai anakku, setiap kali aku mendengar bahwa engkau bahagia
dengan hidupmu, setiap itu pula bertambah kebahagiaanku.
Bagaimana tidak, engkau adalah buah dari kedua tanganku,
engkaulah hasil dari keletihanku. Engkaulah laba dari semua
usahaku! Kiranya dosa apa yang telah kuperbuat sehingga
engkau jadikan diriku musuh bebuyutanmu?!

Pernahkah aku berbuat khilaf dalam salah satu waktu selama
bergaul denganmu, atau pernahkah aku berbuat lalai dalam
melayanimu? Terus, jika tidak demikian, sulitkah bagimu
menjadikan statusku sebagai budak dan pembantu yang paling
hina dari sekian banyak pembantumu .

Tidak ada komentar:

mari bersama mengembalikan kehidupan Islam.