Kamis, 29 April 2010

Mengaku Cinta Bumi? Perhatikanlah Makananmu!

Tanggal 22 April 2010 lalu diperingati sebagai hari Bumi. Berbagai kalangan tampaknya tidak mau melewati momen ini untuk menunjukan bahwa mereka peduli dengan bumi. Namun, sebenarnya tak perlu capek-capek menyelenggarakan berbagai kegiatan besar untuk menunjukan bahwa kita cinta bumi. Cukup lihat apa yang kita makan. Karena itulah wujud cinta kita sesungguhnya pada bumi.

Beberapa pembaca mungkin akan bertanya-tanya, apa hubungan antara makan dan bumi?

Bagaimana pun, aktivitas manusia sekecil apa pun, berdampak serius pada bumi. Salah satunya adalah makan. Karena, untuk memenuhi kebutuhan makannya sehari-hari, manusia tidak segan-segan merusak bumi. Hal ini termanivestasikan dalam beragam bentuk aktivitas manusia, seperti: merusak hutan, mencemari air, membunuh satwa liar, dan menangkap ikan berlebihan.

Dalam skala kecil, mungkin tidak akan berpengaruh terhadap bumi. Tapi, jumlah manusia sudah sedemikian banyaknya, 6 Milyar orang. Hal ini diperparah dengan sifat manusia yang cenderung mengabaikan keberlangsungan ekologi. Sehingga, ketika aktivitasnya telah berlebih, bumi tidak mampu lagi untuk meregenerasi tubuhnya yang rusak.
Foto: timeinc.net

Foto: Timeinc.net

Kembali ke persoalan makan. Memperhatikan makanan kita bukan hanya mengenai apa yang kita makan, tetapi juga mengenai alat yang kita gunakan untuk makan. Apakah yang kita gunakan untuk makan adalah peralatan yang ramah lingkungan atau tidak?

Bila kita mencintai bumi, seharusnya kita menggunakan peralatan makan yang ramah lingkungan, atau setidaknya bisa dengan mudah diuraikan oleh alam. Hindari peralatan makan yang sekali buang dan sulit diuraikan oleh tanah seperti stereofoam, plastik, dan kertas.

Sebaiknya tetap menggunakan peralatan yang bisa digunakan secara berulang-ulang seperti piring dan gelas yang terbuat dari kaca. Hal ini tidak hanya mampu mengurangi sampah, tapi juga mengurangi resiko terkena kanker bila dibandingkan menggunakan peralatan makan yang terbuat dari stereofoam, plastik, dan kertas.

Akan lebih baik lagi, bila kita meminimalisir penggunaan peralatan makan kita menggunakan apa yang dianugerahkan Tuhan kepada kita. Contohnya, untuk makanan tanpa kuah, sebaiknya menggunakan tangan daripada menggunakan sendok.

Tentunya dengan kita menggunakan tangan, kita tidak perlu mencuci sendok. Bukan hanya lebih hemat air, tapi mencuci tangan setidaknya membuat air tidak terlalu banyak tercemar deterjen dibandingkan dengan mencuci sendok. Tangan sudah cukup bersih bila dicuci menggunakan air saja, tanpa sabun. Tapi sendok, tentunya harus menggunakan deterjen pencuci piring, dan tentunya ini menambah pencemaran air di bumi.

Selain berkaitan dengan alat yang digunakan untuk makan, kita juga harus memperhatikan besarnya energi dalam membuat makanan dan mendistribusikannya.
Foto: Sterlingtrucks.com

Foto: Sterlingtrucks.com

Dalam hal distribusi, tentunya semakin jauh jarak antara produsen dan konsumen, semakin besar pula energi yang dibutuhkan untuk mengirimkan makanan. Contohnya saja dengan buah yang kebunnya berjarak hanya 1 Kilometer dari tempat tinggal kita. Distribusinya mungkin bisa dengan menggunakan sepeda atau sepeda motor. Untuk sepeda motor, energi yang dibutuhkan relatif sangat kecil dan tidak akan menghabiskan 1 liter bahan bakar premium.

Tapi bagaimana dengan buah-buahan yang kita impor dari negara yang jaraknya ribuan Kilometer dari tempat kita? Berapa banyak energi yang dibutuhkan untuk menghadirkan buah-buahan dari negara asalnya ke hadapan kita? Tentunya, semakin banyak energi, semakin banyak buangan yang dihasilkan, dan semakin besar dampaknya bagi bumi kita.

Pun buah-buahan itu tidak hanya sekali angkut dalam setahun. Tapi puluhan, ratusan, bahkan ribuan kali angkut dalam setahun. Saya tidak memiliki data angka mengenai banyaknya bahan bakar yang digunakan. Namun, andaikata dibutuhkan seratus ribu liter bahan bakar untuk sekali mengantarkan barang dari negara yang satu ke negara lain yang jaraknya seribu Kilometer, berarti dibutuhkan seratus juta liter bahan bakar dalam setahun bila ada seribu kali angkut. Lalu, berapa banyak jumlah polusi yang dilepaskan ke udara?
Foto: arizonafoothillsmagazine.com

Foto: Arizonafoothillsmagazine.com

Itu baru dari sisi distribusi makanan. Belum lagi dari proses pembuatan makanan. Ketika kita membeli nasi di warung padang, kita bisa lihat mereka memasak menggunakan kompor minyak atau gas. Energi yang dibutuhkan pun relatif lebih kecil. Namun tidak dengan ketika kita membeli di restoran cepat saji. Nasi di sana dimasak dengan menggunakan peralatan yang serba modern dan membutuhkan energi yang jauh lebih banyak.

Barangnya sama-sama nasi, tapi proses pembuatannya beda, dan salah satunya lebih boros energi. Pertanyaannya, kenapa juga kita harus mendapatkan makanan yang bentuknya sama, tetapi energi yang diperlukan untuk memasaknya sangat jauh berbeda dan berdampak signifikan terhadap kerusakan bumi kita?

Sebagai catatan, semakin banyak energi yang dibutuhkan sebuah alat untuk memproduksi sesuatu, semakin banyak juga kebutuhan akan bahan bakar dan listrik, dan semakin banyak juga jumlah emisi yang disumbangkan aktivitas manusia untuk bumi.

Selain dari proses memasak dan distribusi, kita juga harus peduli bagaimana makanan yang kita makan di produksi. Apakah makanan yang kita konsumsi dihasilkan dari merusak bumi atau tidak?
Foto: healthierusveterans.va.gov

Foto: Healthierusveterans.va.gov

Misalnya, ketika kita memakan sayuran. Apakah sayuran yang kita makan adalah sayuran yang disemprot dengan pestisida dan menggunakan pupuk buatan? Bila disemprot dengan pestisida, berapa banyak spesies yang mati dan air yang tercemar oleh pestisida?

Selain energi yang dibutuhkan untuk membuat pestisida dan pupuk buatan cukup besar, pestisida juga berdampak langsung terhadap rantai makanan alami di alam. Ulat yang mati karena pestisida, akan dimakan oleh burung dan bisa berdampak pada matinya spesies burung pemakan ulat lantaran terkena racun pestisida.

Dalam jangka panjang, rantai makanan bisa hilang. Predator yang lebih tinggi dari burung pemakan ulat, tidak memiliki asupan makanan sehingga bisa mati kelaparan. Hal ini biasanya menyebabkan melonjaknya jumlah spesies tingkat pertama. Sehingga bisa menyebabkan serangan hama dengan jumlah yang tak terkendali. Misalnya saja dengan fenomena jutaan belalang yang menghabiskan tanaman siap panen di banyak negara di dunia, termasuk di Indonesia.

Contoh lainnya, tentang tempat sayuran ditanam. Apakah di lahan yang diperuntukan untuk hutan atau memang di lahan yang peruntukannya untuk kebun? Bila di lahan yang peruntukannya untuk hutan, kembali lagi, kita telah menyumbang kerusakan bagi bumi ini.
Foto: Wondercliparts.com

Foto: Wondercliparts.com

Jadi, ketika kita makan, kita harus bertanya dalam diri kita tentang asal makanan, proses memasaknya, dan cara menghasilkannya. Apakah untuk memenuhi konsumsi kita, makanan tersebut berlebih-lebihan dalam menggunakan energi? Apakah makanan yang kita makan, ramah lingkungan?

Ribet memang. Namun, kondisi ini akibat budaya kita yang tidak peduli dengan bumi dan menganggap tanggung jawab merawat bumi bisa dengan mudah digantikan dengan menyumbang kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bidang konservasi alam.

Jadi, merasa cinta dengan bumi? Perhatikanlah cara makan kita agar lebih ramah lingkungan. Bagaimana pun, itulah salah satu bukti cinta kita terhadap bumi.

Tidak ada komentar:

mari bersama mengembalikan kehidupan Islam.