Minggu, 31 Januari 2010

YANG PALING MEMPESONA IMANNYA

Ya Allah, taburkanlah wangian
Diatas kubur nabi yang mulia
Dengan semerbak shalawat
Dan salam sejahtera

Madinah Al-munawarah, pada dini hari. Membran malam perlahan tersingkap,
berganti dengan subuh syahdu. Lengang berpulun dengan udara dingin
menggigit. Dan deru sahara hanya terdengar dari jauh. Cerlang fajar sebentar
lagi nampak. Shalat subuh hampir tiba, Rasulullah Saw dan para sahabat
menyemut pada satu tempat, masjid. Semua hendak bertemu dengan yang di
cinta, Allah. Namun sayang, air untuk berwudhu tidak setetes pun tersedia.
Tempat mengambil air seperti biasanya kini kerontang.

Dan para sahabat pun terdiam, bahkan ada beberapa yang menyesali kenapa
tidak mencari air terlebih dahulu untuk keperluan kekasih Allah itu
berwudhu. Rasululllah pun bertanya kepada para sahabat "Adakah diantara
kalian membawa kantung untuk menyimpan air?". Berebut para sahabat
mengangsurkan kantung air yang dimilikinya. Lalu, Nabi yang begitu mereka
cintai itu meletakkan tangannya diatasnya. Tidak seberapa lama, jemari
manusia pilihan itu memancarkan air yang bening. "Hai Bilal, panggil mereka
untuk berwudhu" sabda nabi kepada Bilal.

Dan para sahabat pun tak sabar merengkuh aliran air dari jemari sang Nabi.
Di basuhnya semua anggota wudhu, ada banyak gumpalan keharuan dan pesona
yang menyeruak. Bahkan Ibnu mas'ud mereguk air tersebut sepenuh cinta.

Shalat subuh pun berlangsung sendu, suara nabi mengalun begitu merdu. Ada
banyak telinga yang terbuai, hati yang mendesis menahan rindu. Selesai
memimpin shalat, nabi duduk menghadap para sahabat. Semua mata memandang
pada satu titik yang sama, Purnama Madinah. Dan di sana, duduk sesosok cinta
bersiap memberikan hikmah, seperti biasanya.
"Wahai manusia, Aku ingin bertanya, siapakah yang paling mempesona imannya?"
Al-Musthafa memulai majelisnya dengan pertanyaan.
"Malaikat ya Rasul Allah" hampir semua menjawab.

Dan nabi memandang lekat wajah para sahabat satu persatu. Janggut para
sahabat masih terlihat basah. "Bagaimana mungkin, malaikat tidak beriman
sedangkan mereka adalah pelaksana perintah Allah."
"Para Nabi, ya Rasul Allah" jawab sahabat serentak.
"Dan bagaimana para Nabi tidak beriman, jika wahyu dari langit langsung
turun untuk mereka".
"Kalau begitu, sahabat-sahabat engkau, wahai Rasulullah" pada saat menjawab
ini banyak dari sahabat yang mengucapkannya malu-malu.
"Tentu saja para sahabat beriman kepada Allah, karena mereka menyaksikan apa
yang mereka saksikan".
Selanjutnya mesjid hening. Semua bersiap dengan lanjutan sabda nabi yang
mulia. Semua menunggu, sama seperti sebelumnya pesona sosok yang duduk
ditengah-tengah mereka mampu menarik semua pandangan laksana magnet
berkekuatan maha. Dan suara kekasih Allah itu kembali terdengar. "Yang
paling mempesona imannya adalah kaum yang datang jauh sesudah kalian. Mereka
beriman kepadaku, meski tak pernah satu jeda mereka memandang aku. Mereka
membenarkan ku sama seperti kalian, padahal tak sedetikpun mereka pernah
melihat sosok ini. Mereka hanya menemukan tulisan, dan mereka tanpa ragu
mengimaninya dengan mengamalkan perintah dalam tulisan itu. Mereka membelaku
sama seperti kalian gigih berjuang demi aku. Alangkah inginnya aku berjumpa
dengan para ikhwanku itu".

Semua terpekur mendengar sabda tersebut. Kepada mereka nabi memanggil sapaan
sahabat, sedang kepada kaum yang akan datang, nabi merinduinya dengan
sebutan "Saudaraku". Alangkah bahagia bisa dirindui nabi sedemikian indah,
benak para sahabat terliputi hal ini.

Dan terakhir nabi, mengumandangkan QS Al Baqarah ayat 3: "Mereka yang
beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, dan menginfakkan sebagian dari
apa yang kami berikan kepada mereka".
***

Memang, tiada yang lebih indah, dirindui nabi seperti demikian. Kang
Jalaluddin Rakhmat menyebutkan, keistimewaan sebutan 'saudara' ini
disebabkan beberapa hal.

Pertama: Para sahabat menyaksikan langsung sosok nabi Muhammad, menjumpainya
dalam keseharian, menemaninya dalam setiap kesempatan. Para sahabat bertemu
langsung dengan beliau, memperhatikan segala perilaku indahnya. Para sahabat
beriman kepada Nabi secara lahir. Sedangkan para ikhwan (saudara)
mempercayai Rasulullah setelah membaca dan mendengar perilaku beliau.

Kedua: Para sahabat mengenal nabi secara langsung, berada di depan mata.
Para sahabat melihat mukjizat seperti tadi, bukan dari cerita atau kisah.
Para sahabat mengalaminya sendiri. Sedangkan para ikhwan mengenal nabi
secara tidak langsung, hanya berdasarkan bukti-bukti yang rasional. Dan hal
ini memerlukan pembelajaran yang tidak mudah, karena lebih abstrak. Dan
fitrah manusia selalu mengedepankan hal-hal yang dilihat secara nyata.

Selanjutnya kang Jalal menghimbau, Cintailah Rasululullah, maka ia akan
menjadi pusat perhatian. Kapan saja ia diperbincangkan maka kita akan selalu
semangat menyimak. Cintailah Rasulullah maka kita akan meniru perilakunya
dengan hasil baik. Dan yang lebih dahsyat lagi, cintailah Rasulullah maka
beliau akan menganggap kita sebagai saudara (ikhwan) dan janji Allah dalam
QS. Annisa: 69, seorang pencinta Rasul akan digabungkan dengan orang-orang
yang memperoleh nikmat Allah yaitu Para nabi, para shidiqin, para syahid dan
orang-orang shaleh.
***

Tak ada salahnya, pabila saat ini saya mengenang sosok yang hanya saya tahu
ciri-cirinya dari sebuah buku. Mengapakah terlalu sering saya mengabaikan
teladan sempurna ini. Bahkan, terlalu jauh saya terlontar dari sunnahnya.
Padahal, engkau ya Rasul Allah, begitu memperhatikan kami, hingga kami
disebut pada saat-saat terakhir kehidupanmu. Ketika maut menjemput, nafas
satu-satu dan detik-detik penghabisan di dunia sebelum dengan anggun engkau
dipanggil Allah.

Maafkan saya, ya nabi pilihan Allah, shirahmu saya baca tetapi saya hanya
mengemasnya dengan rapi dalam memori sebagai sebuah kisah yang nantinya akan
saya sampaikan kepada yang lain. Engkau merindukan umat yang berjuang untuk
membelamu, padahal saya sama sekali tidak berbuat apapun. Engkau rindui
sosok-sosok yang mencintaimu dengan segenap jiwa, dan saya tidak tahu apa
bukti kecintaan yang telah saya persembahkan meski hanya sekuntum saja.
Betapa malunya saya wahai Rasulullah.

Meski demikian, perkenankan saya menyampaikan salam, salam cinta dan salam
kerinduan. Salam bagimu ya Rasul Allah, salam bagimu duhai kekasih Allah
yang mulia. Inilah si lemah dari sekian abad dari masamu yang terbentang,
menyampaikan salam pekat kerinduan. Inilah si dungu, meski dengan tubuh
penuh dengan karat dosa, dengan mata yang seringkali tak terarah, dengan
mulut yang kerap menghina dan berdusta, dengan telinga yang sering tuli
terhadap kepedihan sesama, memberanikan diri menyapamu dalam kesendirian.

Mengenang engkau ya Rasul Allah, menetaskan dahaga hebat bagi kerontangnya
jiwa ini untuk berjumpa denganmu. Mengingatimu tentang betapa rekatnya
engkau mencintai para pengikut yang datang jauh setelah engkau tiada,
mengkristalkan haru yang tiada tara. Betapapun besar rasa malu ini,
terimalah salam, wahai pembawa cahaya kepada dunia.
Betapapun buruk rupa jiwa ini,
Betapapun kerdil pikiran ini,
Betapapun kelu lidah ini berucap,
Ingin saya sampaikan kepadamu wahai nabi al-musthafa:
Shallaallaahu ala muhammad, shallalhu alaihi wasallam...

Salam bagimu ya Rasul Allah.
Sahabat, telah sering kita mengucapkan shalawat terhadap junjungan nabi
Mulia, bahkan mungkin disetiap jeda yang kita punya, salam untuk sang
tercinta tak lupa kita ungkap. Namun apakah salam yang kita sampaikan
benar-benar salam yang ikhlas, salam tanda cinta kita, ataukah salam yang
refleks keluar dari mulut kita tanpa ada makna?

“Wallahu 'A'lam Bisawab”

*mudah-mudahan saat ini dalam dadamu ada yang bergemuruh juga*

Tidak ada komentar:

mari bersama mengembalikan kehidupan Islam.