Rabu, 10 Februari 2010

Renungan

sepenggal cerita telah kuterima, sebuah kisah nyata yang membuatku merasa takut dan tersudut. Tentang seorang wanita yang mengenal lawan jenisnya di dunia maya. Wanita itu disapa seorang lelaki dengan kata-kata bijaksana. Hampir setiap hari, nasehat dan motivasi mengalir silih berganti. Lelaki itu tampak baik, sholeh, terpuji dengan pengetahuan agama yang mumpuni.

Simpati pun timbul, rasa suka itu muncul. Meski berbeda budaya dan dipisahkan oleh samudra hubungan itu terjalin begitu saja. Tak lagi peduli jilbab lebar yang ia kenakan, cinta dan suka tetap bisa melanda. Lelaki itu pun tampaknya bukan seorang pengecut, ia datangi rumah sang wanita dan bertemu dengan orang tuanya, kemudian berkata ingin menjalin hubungan yang tidak biasa.

Suatu ketika ada seorang perempuan yang tak dikenal menyampaikan sapaan pada sang wanita. Perempuan itu banyak bertanya kemudian mulai bercerita. Ia bercerita tentang lelaki yang sama, lelaki yang wanita kenal di dunia maya, yang pernah datang ke rumahnya. Tuturan si perempuan begitu mengejutkannya, membuat hatinya gundah. Bagaimana tidak? Lelaki yang ia sangka terpuji dengan pengetahuan agama mumpuni rupanya punya sisi tercela yang tak ia sangka.

Jauh hari sebelum ke rumah sang wanita, lelaki itu telah menjalin hubungan dengan si perempuan. Hubungan yang begitu dalam. Hubungan itu terjalin dengan cara yang sama, saling mengenal melalui dunia maya, kemudian kata-kata bijak juga ditebarkan, tempat tinggal yang berjauhan dan telah bertemu dengan orang tua si perempuan. Malah sang wanita menangkap bahwa si perempuan telah berbadan dua.

Saat lelaki itu dicecar dengan pertanyaan, ia mengakui semuanya dan memang sengaja menunggu hingga sang wanita tahu. Namun tak ada sesalan, tak ada ketegasan sikap, tak ada keberanian memutuskan pilihan atau keberanian mempertanggungjawabkan perbuatan dan terkesan menganggap itu bukanlah masalah besar. Dan lelaki ini pun berlindung di balik kata, "Biarlah nanti Allah yang menentukan."

Meski sudah diketahui belangnya, lelaki itu tetap saja memaksakan kehendaknya untuk menyunting sang wanita. "Bagaimana dengan perempuan itu?" tanya sang wanita. Dan dengan ringan lelaki itu menjawab, "Kalau pun ia nanti kunikahi aku juga akan tetap menikahimu."
"Rakus, egois, tidak tahu malu. Apakah semua lelaki seperti ini?" Batin wanita itu bertanya.
"Inikah lelaki? Yang hanya bisa merayu, mengumbar kata-kata bijaksana untuk melemahkan hati wanita kemudian mencampakkannya?"
"Inikah calon qowwam? inikah calon pelindung dan pembimbing keluarga? Begitu egoisnya dan mementingkan nafsunya semata?
"Inikah lelaki...?"

Dan aku hanya termenung bingung. Aku cuma bisa malu dengan yang dilakukan oleh kaumku. Kata pembelaan tak kusampaikan, karena pria seperti itu memang ada. Hanya kalimat pendek yang kukatakan, sebentuk cerminan asa yang menggumpal dalam dada, "Semoga tidak semua pria melakukan hal yang sama..."

Rasa takut terajut, ketakutan bahwa aku melakukan hal yang tak jauh berbeda. Mungkin pula tanpa sadar, kata-kata bijak, hikmah, nasehat, saran dan masukan berubah menjadi umpan untuk menarik perhatian. Betapa ruginya bila segala yang disampaikan berakhir sia-sia di sisi-Nya...

Dan entah dari mana, terngiang sebuah seruan yang menggema, menusuk-nusuk jiwa... duhai pemuda! Bencana! Duhai pemuda! Bencana!

Duhai pemuda, Bencana!
Saat kau hanya sibuk mengumbar kata di antara wanita. Berdalih menyerukan kebenaran dan menunjukkan jalan kebaikan. Namun kau begitu menikmati di kala wanita-wanita itu mengagumi dan menyukai setiap kata yang kau ucapkan. Tak kah kau sadari, lubang neraka sedang engkau masuki karena telah menyebabkan hati-hati itu tertambat pada selain Ilahi?

Duhai pemuda, Bencana!
Saat kamu tak juga menjaga pandangmu. Memilih dan memilah target dakwah hanya berdasar rupa dan jenis kelaminnya. Kamu demikian bangga saat komentar dan ucapan terima kasih dari lawan jenismu datang mengisi hari-harimu. Apa kamu kira berpahala di sisi-Nya? Apa kamu kira kau terpuji dan masuk surga ketika engkau mencari perhatian kaum wanita. Duhai meruginya saat syirik kecil dibiarkan bercengkrama di dasar hatinya.

Duhai pemuda, Bencana!
Saat hati telah terkotori syahwat syaithoni. Sungguh dakwah picisanmu tak ada nilainya. Sedang nabi saja ditegur oleh-Nya dengan surat 'Abasa, karena lebih senang menyampaikan ajaran Islam dan berbincang dengan para pemuka dari pada dengan seorang yang buta.

Duhai pemuda, Bencana!
Dan apa yang akan kau katakan? Pembelaan? Beralasan dengan dalil "Semua tergantung pada niatnya."? Apakah kau pikir niat baik saja cukup untuk membuat amal yang kau lakukan diterima di sisi-Nya tanpa ittiba' pada Nabi-Nya? Apakah Rasulullah mengkhususkan untuk menyapa kaum wanita saja? Apakah Rasulullah menggunakan kata-kata bijaksana untuk merayu lawan jenisnya? Apakah Rasulullah berlama-lama dalam berbincang tanpa tujuan dengan kaum hawa yang bukan mahromnya?

Duhai pemuda, sayangilah dirimu. Sebelum ketentuan-Nya berlaku, dan tak ada lagi pintu yang dibuka untukmu. Ia memang pengasih, namun adzab-Nya pun juga pedih.

Tidak ada komentar:

mari bersama mengembalikan kehidupan Islam.