Jumat, 05 Maret 2010

Arahan Dewan Syariah Tentang Fenomena Perbedaan Masuknya Waktu Shalat Subuh

Dewan Syariah Wahdah Islamiyah telah mengeluarkan beberapa keputusan sejak bulan Ramadhan tahun lalu tentang hal ini dalam Suratnya No: D.60/D.SR-WI/IX/1430 tertanggal 19 Ramadhan 1430 H/09 September 2009 dengan lampiran Keputusan sebagai berikut:
Sehubungan dengan adanya keraguan terhadap waktu sholat subuh yang dikeluarkan pemerintah yang beredar di masyarakat, maka kami putuskan beberapa hal:
1. Pihak DPP menghimbau para Dai agar tidak membesar-besarkan permasalahan ini.
2. Mengembalikan penentuan waktu shalat kepada lembaga yang selama ini dianggap kapabel.
3. Meminta kepada pihak DPP untuk membentuk Tim pemantau waktu sholat, khususnya sholat Subuh.

Adapun yang dijadikan sebagai pertimbangan sebagai berikut
1. Penelitian yang dilakukan oleh Dept.Agama Sulsel, Tim Ru’yah dan Hisab IAIN yang diketuai Prof.Ali Parman dan MUI, yang juga diikuti oleh Sekretaris Dewan Syariah WI dengan turun dilapangan pada bulan Juli 2009 di daerah Jeneponto, menunjukkan perbedaan waktu antara jadwal yang dikeluarkan Depag Sulsel dengan Fajar shodiq yang dipantau di tempat tersebut ,7-10 menit lebih cepat. Adapun waktu yang dikeluarkan oleh Syafruddin Djambek (Waktu yang berlaku sepanjang masa) 4-6 menit lebih cepat dari munculnya fajar shodiq

2. Adanya perbedaan persepsi tentang fajar shodiq di lapangan, dan juga adanya riwayat yang membolehkan sholat pada saat Ghalas

3. Adanya perubahan letak matahari setiap bulannya dalam setahun menyebabkan terjadinya perbedaan dalam menentukan waktu shalat pada bulan tersebut. Misal, jika melakukan pengamatan pada bulan Januari berbeda dengan bulan selainnya.

Ustadz Syaiful Yusuf, Lc Salah satu anggota Dewan Syariah juga menegaskan tentang hasil Keputusan Dewan Syariah tersebut di atas dan perubahan waktu sholat subuh oleh beberapa Dai di Masjid Binaan atau di Masjid di sekitar lingkungan para Dai dengan mengambil dasar pembahasan hal tersebut dari Majalah Qiblati, menegaskan bahwa hasil penelitian yang diangkat itu berlaku untuk daerah Jawa, sedangkan untuk daerah di Makassar dan Sulawesi kita tidak memiliki data-data observasi di lapangan tentang masuknya waktu Shubuh.

“Para Dai tidak boleh membesar-besarkankan hal ini karena tidak memiliki data, kita tidak bisa menghukumi jadwal yang telah beredar salah, sampai kita miliki bukti di lapangan di beberapa tempat pada beberapa waktu secara berkala di sulawesi selatan. Perlu observasi sekali sebulan di beberapa titik, “ tegas Ketua Bidang I DPP

Melihat Perbedaan waktu yang dimunculkan yang signifikan sekitar 20-30 menit dari jadwal yang beredar, ini akan mengakibatkan persinggungan dan rentan menimbulkan riak-riak di masyarakat.
“ Hal itu yang kita tidak dinginkan, kalau kita berani menvonis jadwal itu salah sedangkan kita tidak punya bukti ,maka posisi kita tidak kuat. Sekali lagi, bahwa untuk tidak mengangkat masalah ini sampai ada data yang jelas sebagai dasar menhukumi jadwal ,” lanjut Ust. dalam penegasannya
Selain secara resmi anggota Dewan Syariah pernah ikut dalam Tim Gabungan, juga Ust.Syaiful punya pengalaman pribadi tentang ini, saat gelar rihlah bersama halaqah binaannya di salah satu pulau di Takalar Sulsel. Beliau melakukan pengamatan untuk membuktikan waktu masuknya shalat Subuh, ternyata data yang didapatkan, bisa dikatakan tidak berbeda dengan jadwal yang beredar. Olehnya itu, menurut Ust, Data -data seperti ini yang dibutuhkan, jadi perlu ada tim yang memantau setiap bulannya.

Adapun melihat hasil penelitian di Pulau Jawa, ini tentu tidak memiliki alasan yang kuat. Karena hasil penelitian di suatu tempat tidak bisa dijadikan dasar di tempat lain.

Bila terjadi di lapangan, tambah Ustadz, ada ikhwah yang hendak “mempersulit” masalah ini untuk mengundurkan waktu shalat Subuh sampai sekian menit, kita katakan pada mereka, apakah betul sudah melihat sendiri fajar itu lebih lambat keluarnya dari yang dijadwal.

“kalau melihat sendiri, silahkan menhukum dengan ilmu yang ia yakin. Jika tdk melihatnya, ia hanya berdasarkan hasil penelitian di tempat lain, maka itu tidak kuat. Jangan memaksakan sesuatu ke masyarakat apa yang sebenarnya kita tidak berada di atas ilmu yang jelas,” tandasnya.

Sehubungan dengan salah satu poin yang disebut pada keputusan Dewan Syariah tentang riwayat yang membolehkan sholat pada saat Ghalas, Ustadz Syaiful menambahkan bahwa dalam hadis dikatakan, biasa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam shalat subuhnya panjang, 60-100 ayat yang dibaca dan selesai sholatnya masih gelap, diriwayatkan dikatakan Sahabat belum mengenal orang di sampingnnya setelah shalat, ini menunjukkan masih gelap. Kalau kita melihat yang dipakai sebagian ikhwah berdasarkan yang dimuat di majalah, di Makasaar adzannya saja sudah agak terang langit, apalagi setelah sholat akan sangat terang sekali.

Ustadz Syaiful menambahkan lagi di ahir tanggapannya, bahwa hal yang penting untuk diperhatikan jika nantinya sudah ada tim pemantau yang dibentuk untuk melakukan pengamatan di beberapa titik secara kontinyu sepanjang tahun, maka sebaiknya melibatkan pihak-pihak yang berkompeten , misalnya Depag, MUI dan Lembaga Hisab Ru’yah Universitas Islam dalam satu tim gabungan, sehingga observasi yang dilakukan kuat dan tidak subyektif untuk jadi hujjah di masyarakat,yang tidak menimbulkan konflik.

Arahan DPP
Dewan Pimpinan Pusat Wahdah Islamiyah dalam arahannya, yang disampaikan langsung oleh Sekjend Ust.Ir.Muh.Qasim Saguni tentang hal ini, menyatakan bahwa hendaknya setiap kader berupaya tsiqah ( percaya) kepada keputusan dan fatwa Dewan Syariah, karena Dewan Syariah merupakan lembaga yang representatif menghimpun Asatidzah dengan kompoten dan ilmu syari yang tidak diragukan lagi. Dalam pengkajian suatu masalah, lanjut Ustadz, selain mencoba mendalami masalah ini, terkadang juga melakukan upaya istifta (Meminta) fatwa kepada beberapa Ulama.

Kaitanya dengan jadwal shalat, selain merujuk pada Dewan Syariah, pertimbangan lain yang dikatakan Sekjend bahwa gerakan dakwah perlu melihat kondisi mad’u (Obyek Dakwah).
“Bukankah arahan ulama, bahwa dalam berdakwah harus dengan bashirah (ilmu yang jelas), termasuk di dalamnya adalah ilmu tentang kondisi mad’u. Tidak semua yang benar itu langsung disampaikan, terkadang ada yang benar ditunda penjelasannya. Karena mad’u yang dihadapi belum siap menerima, dan mempertimbangkan tidak lebih banyak maslahatnya ketimbang mudharat yang bisa ditimbulkan. Maka Sebaiknya setiap langkah ke depan dengan mempertimbangan unsur maslahat dan mudahat dan semestinya jika ada permasalahan selalu dikonsultasikan ke Pihak DPP atau jika terkait dengan masalah syariat agar dikonsultasikan langsung ke Dewan Syariah,” Jelas Ustadz dalam arahannya.

Tidak ada komentar:

mari bersama mengembalikan kehidupan Islam.